Friday, January 26, 2007

Mengenai Penulis

Batara Richard Hutagalung, dilahirkan di rumah sakit Karangmenjangan (sekarang RSUD Dr. Sutomo) Surabaya, pada 4 Desember 1944, sebagai anak keenam pasangan Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dan Maria Dora Elfrinkhoff-Rincap. 

Dr. Wiliater Hutagalung adalah seorang pelaku pertempuran 28 – 30 Oktober dan pertempuran November ’45 di Surabaya; sedangkan isterinya, Maria Dora, yang adalah seorang perawat dengan pengalaman kerja di Rumah Sakit Militer Belanda di Jakarta (sekarang RSPAD Gatot Subroto), ikut berperan dalam merawat pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di rumah sakit di Mojokerto dan Gatul. Selama Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan mulai 19 Desember 1948, Letkol dr. Hutagalung menjabat sebagai Perwira Teritorial dan menjadi penasihat Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Kolonel Bambang Sugeng. dr. Hutagalung sangat berperan dalam merancang “Grand Design” Serangan Umum 1 Maret 1949 di wilayah Divisi III/GM III, termasuk Yogyakarta. Jabatan terakhir dr. W. Hutagalung ketika mengundurkan diri dari dinas ketentaraan tahun 1950, adalah Kwartiermeestergeneraal Staf “Q” Angkatan Darat (Kepala Staf “Q”). 

Naskah buku riwayat perjuangan dr. W. Hutagalung, yang oleh Presiden (waktu itu) Suharto dilarang untuk diterbitkan, menjadi landasan penulisan buku ini. 

Batara Hutagalung menamatkan SMA di Denpasar tahun 1964. Akhir bulan November 1965, berangkat ke Hamburg, Jerman (dahulu Barat) dengan kapal laut “Sam Ratulangie”, tiba di Hamburg tanggal 31 Desember 1965. Di Universitas Hamburg mengambil jurusan sosiologi, psikologi dan filosofi, dan mengikuti kuliah psikologi-sosial dari Prof. Dr. Peter Hofstaetter, seorang pakar social psychology

Karena di bidang politik berseberangan dengan penguasa Orde Baru, Batara Hutagalung sering mendapat berbagai kesulitan dari pihak perwakilan RI di Jerman (Barat), terutama ketika menjadi Ketua Pengurus Pusat organisasi mahasiswa Indonesia –PPI- di Jerman (Barat). Selama berada di Eropa, telah mengunjungi banyak negara Eropa Barat dan beberapa negara Eropa Timur. Kembali ke Indonesia bulan Desember 1992.

Tanggal 9 November 1999, bersama beberapa pelaku sejarah serta putra-putra pelaku sejarah, membentuk Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Batara Hutagalung diberi kepercayaan menjadi Ketua KPHARS. Tanggal 10 November 1999, KPHARS, melalui Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di Jakarta, mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas agresi militer terhadap kota Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. 

Tanggal 27 Oktober 2000, bekerjasama dengan Lembaga Ketahanan Nasional Lemhannas), KPHARS menyelenggarakan Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Comsequences”, di mana Duta Besar Inggris, Richard Gozney, CMG, serta beberapa pelaku sejarah, antara lain Dr. Ruslan Abdulgani dan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Subiantoro menjadi pembicara. Pada seminar tersebut, Duta Besar Kerajaan Inggris, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, secara resmi menyampaikan rasa penyesalan atas tewasnya ribuan rakyat Surabaya pada bulan November 1945, dan mengakui terus terang, bahwa memang demikian politik Inggris pada waktu itu. 

Duta Besar Inggris, Richard Gozney, juga hadir pada Peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2000 di Surabaya. Tanggal 10 November 2000 di Surabaya, bersama 9 orang pengurus KPHARS, Batara Hutagalung ikut mendirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45. Tanggal 29 Juni 2001, KPHARS resmi dibubarkan.

1 Comments:

At 4:00 AM , Anonymous Anonymous said...

Salam dari Tommy

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home