Bab Lima. Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris. Crime against humanity
Analisis Latar Belakang Agresi Militer InggrisAlasan-alasan formal seperti yang dikemukakan dalam ultimatum sebagai legitimasi pemboman, kelihatannya sulit dipercaya. Setelah sekarang terbukti, bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh Letnan Jenderal Christison tanggal 31 Oktober dan diperkuat dalam ultimatum Mayor Jenderal Mansergh tanggal 9 November 1945 adalah tidak benar, bahkan telah memutar balikan fakta, yakni yang menyangkut siapa yang melanggar gencatan senjata serta penyebab kematian Brigadier Mallaby. Oleh karena itu, perlu diteliti kemungkinan penyebab yang lain, yang mendorong Inggris untuk melancarkan agresi militer secara besar-besaran, dengan menggunakan persenjataan paling hebat dan modern yang dimiliki tentara Inggris waktu itu.
Sehubungan dengan ini, tidak dapat digunakan hanya pendekatan sejarah (historical approach) saja, melainkan harus dilakukan pendekatan multi disipliner, karena bila ditinjau hanya dari sisi sejarah saja, tidak akan diperoleh jawaban atas tindakan yang boleh dikatakan sudah tidak lagi rasional. Oleh karena itu perlu juga dilakukan pendekatan masalah legitimasi (legitimation approach), pendekatan sosial – psikologis (social – psychological approach) dan pendekatan perilaku (behavioral approach).
Apabila diteliti lebih lanjut, ada dua alasan lain yang jelas tidak akan dikemukakan atau belum diakui oleh Inggris.
Yang pertama, adalah alasan psikologis-emosional. Sebagaimana setiap individu, massa juga mempunyai psikologi sendiri, yang disebut mass psychology (psikologi massa) yang juga dikenal sebagai social psychology (psikologi sosial). Selain masalah tercemarnya pamor/gengsi super power pemenang Perang Dunia II, juga solidaritas korps tentara adalah alasan yang sangat penting. Hal-hal yang disebut belakangan, berhubungan dengan perilaku (behavior).
Yang kedua, dengan bukti dan dokumen yang tidak dapat dibantah, adalah perjanjian bilateral antara Inggris dengan Belanda (Chequers), dan perjanjian internasional, yaitu hasil keputusan konferensi Yalta, Februari 1945, yang dikukuhkan dengan Deklarasi Potsdam tanggal 26 Juli 1945.
Alasan Psikologis-Emosional
Untuk mengetahui alasan yang “tidak rasional” tersebut, perlu dikaji ulang beberapa peristiwa pendahulu, di mana dalam penilaiannya, harus memakai “kacamata” serta tolok ukur yang sehubungan dengan perilaku, emosi dan gengsi:
v Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, sehingga menyebabkan banyak jatuh korban di pihak Inggris. Bila tidak diselamatkan oleh Bung Karno, mereka akan “wiped out” (Mallaby, seperti ditulis oleh Kapten R.C. Smith). Colonel A.J.F. Doulton dalam: ”The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-1947.” Aldershot: Gale and Polden, 1951, hlm. 257, menuliskan
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.”
(Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Dapat dibayangkan, betapa hebatnya gempuran rakyat Surabaya tersebut.
v Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang mereka berhasil ditembak jatuh oleh tentara Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadier Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds mula-mula dimakamkan di dekat lapangan terbang Morokrembangan, kemudian dipindahkan ke Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Sampai sekarang, hampir semua negara dalam melakukan tindakan pembalasan –dipakai berbagai istilah seperti “memberi pelajaran”, “ekspedisi hukuman” (Straf-expedition), “serangan balasan”, dsb-; Inggris memakai istilah “punishment” untuk “crime against civilisation.” Banyak contoh kekejaman dilakukan karena membalas kematian seorang teman seperjuangan, apalagi membalas kematian seorang komandan. Misalnya kekejaman tentara Amerika Serikat pada awal tahun 70-an yang dilakukan di My Lai, Viet Nam Selatan, atau kebiasaan serdadu kolonial, apabila ada seorang serdadu mereka tewas di dekat satu desa, maka seluruh isi desa dibantai, dsb.-dsb. Juga setelah mendengar bahwa Mallaby tewas, Kapten Shaw segera mengatakan kepada Mohammad, bahwa pasti akan ada pembalasan Inggris untuk kematian Mallaby, komandan Brigade 49. Perilaku seperti ini sebagai wujud solidaritas korps tentara, yaitu untuk membalaskan dendam atas tewasnya teman apalagi atasan, memang dilakukan oleh tentara mana pun.
v Selain untuk melampiaskan kemarahan atas kekalahan dalam pertempuran 28-29 Oktober, Inggris berusaha untuk menutupi kesalahan dan kelalaian mereka sejak mendarat di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Kurangnya informasi dari dinas rahasia, kurangnya pengalaman Brigadier Mallaby memimpin pasukan tempur, ditambah arogansi “pemenang Perang Dunia ke II” membuat strategi pendudukan Inggris di Surabaya tampak amburadul.
Parrot mengambarkan kesalahan-kesalahan Mallaby sebagai berikut:
1. He dispersed his troops in “penny packets” all over the town without securing his lines of communication.
2. He completely underestimated the leadership, strenght and fighting spirit of the Indonesians.
3. It took him too long to appreciate the potential danger to his dispersed troops, who carried no reserves of ammunition. (We have it on the authority of Wehl that even as late as the afternoon of Sunday, October 28, there were still soldiers wander about Surabaya on sight-seeing and shopping trips!).
Dalam suratnya tertanggal 23 November 1973, Kapten Smith menuturkan:
“….Brigadier Mallaby had wanted to mount the operation in the normal way – establish a bridge-head, and gradually go through the town with our lines of communication secured. Instead we were ordered to guard various -admittedly important- areas such as the power station, the waterworks and so on. This involved splitting up the bridge, so that when the trouble started these odd sections and platoons were mopped up with great ease by the Indonesians.”
Kolonel Pugh, mantan ajudan Mallaby mengatakan kepada Parrot, bahwa dia mendapat perlakuan buruk setelah “Surabaya affair” dan dia diminta untuk tidak menceriterakan secara rinci mengenai peristiwa tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa “Surabaya insiden” tersebut adalah suatu hal yang sangat memalukan bagi tentara Inggris.
Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut adalah:
- sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
- sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
- solidaritas korps, membalas dendam.
Bahwa niat untuk melaksanakan “punishment” yang akan mengakibatkan “bloodshet” memang telah bulat, terlihat dari langkah evakuasi besar-besaran semua warga Eropa, Amerika, Australia yang berjumlah lebih dari 6.000 orang; dan juga warga asing lain, terutama keturunan Cina. Evakuasi dilakukan dengan kapal-kapal laut. Pendaratan pasukan Divisi 5 di Surabaya serta sejumlah peralatan perang yang hebat, seperti tank Sherman dan skuadron pesawat tempur, dilakukan secara rahasia, agar dapat melakukan suatu serangan total secara mendadak.
Selain itu, formulasi butir 2 dalam ultimatum disusun sedemikian rupa, sehingga dipastikan akan menyinggung harga diri dan kehormatan setiap pemimpin Indonesia di Surabaya, yang akan membuat mereka menolak penghinaan tersebut, berarti menolak ultimatum. Semua usaha di Jakarta untuk melunakkan ultimatum, kemudian permintaan dari Presiden Sukarno untuk menghentikan agresi yang sedang berjalan, tidak dipenuhi
Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta.
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:
v Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini ditunjukkan oleh surat Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi. Surat tersebut berbunyi:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” dan
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
v Selain itu, tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA), yang isinya untuk saling membantu dalam upaya untuk kembali berkuasa di bekas jajahan mereka di Asia Tenggara. Isi perjanjian tersebut sebagai berikut [1]:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi Sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara, tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin.
Asas-asas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah Hindia Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan perwira-perrwira NICA secukupnya kepada tentara Sekutu untuk menjalankan pemerintahan di wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum pihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar Hindia Belanda, sesuai dengan hukum Hindia Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah Hindia Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah Hindia Belanda. Apabila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan Hindia Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan Hindia Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar Hindia Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di Hindia Belanda.
Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda[2].
Di samping melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.
Isu “ekstermis Indonesia yang dipersenjatai oleh Jepang”, dengan sedikit “pelunakan” (kata “ekstremis” diganti “nasionalis”), masih terus digunakan Inggris, juga setelah 55 tahun, sebagaimana ditulis oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia (1997 – 2000), Sir Robin Christopher, ketika menjawab tuntutan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945. Dalam jawabannya tertanggal 22 Maret 2000, Sir Robin Christopher menulis:
“…In October 1945, a 6.000 strong Indian Division under British Command, was attacked by over 20.000 determined Indonesian nationalists, armed by the Japanese.”
Suwarni Salyo, SH., dalam makalahnya pada seminar internasional :”The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences” berpendapat, bahwa agresi militer Inggris atas kota Surabaya adalah awal dari Perang Kolonial (colonial war), karena membantu Belanda menegakkan kembali kolonialisme di Indonesia. Menurutnya, dalam Mukadimah UUD ’45 Republik Indonesia telah gamblang tertera: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Oleh sebab itu, menurut Suwarni Salyo, penyerangan terhadap Surabaya dari laut, darat dan udara adalah suatu crime against humanity and justice sebab merupakan awal dari suatu colonial war, karena kolonialisme itu sendiri adalah suatu crime against humanity.[3]
Juga Suwarni Salyo sependapat, bahwa alasan-alasan yang dipakai oleh Letjen Christison dan Mayjen Mansergh pada waktu itu, yaitu pelanggaran gencatan senjata serta terbunuhnya Brigadier Mallaby, hanyalah sebagai casus belli, sebab apabila waktu itu tidak ada kejadian tersebut, Inggris akan mencari casus belli yang lain.
Hal ini terbukti dengan serangan tentara Inggris terhadap kekuatan militer Indonesia di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia. Sejarah perjuangan Indonesia mencatat pertempuran sengit melawan tentara Inggris di Ambarawa, Bandung dan Medan –yang kemudian dikenal sebagai “Medan Area.” Pemboman terhadap pemukiman penduduk yang dilakukan oleh Inggris tidak hanya di Surabaya, melainkan juga di Ambarawa, Bekasi, Bandung dan Bojongkoko (dekat Sukabumi).
Wilayah yang telah “dibersihkan Inggris” kemudian diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA), sesuai dengan kesepakatan Inggris-Belanda di Chequers –Civil Affairs Agreement (CAA) pada 24 Agustus 1945:
”…… pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu perwira-perrwira NICA secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah Hindia Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin pada setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil,…..”
Rangkaian operasi militer Inggris untuk memenuhi perjanjian dengan Belanda berlanjut terus. Awalnya Inggris memang menunjukkan, seolah-olah de facto mengakui kedaulatan Indonesia, dengan memperbantukan tentara dan polisi Indonesia untuk menjaga keamanan, tetapi di daerah-daerah di luar Jakarta, upaya penghancuran kekuatan militer Indonesia dilakukan dengan intensitas yang tinggi sejak kedatangan tentara Inggris di Pulau Jawa dan Sumatera. Perlahan-lahan tekanan juga dilakukan di Jakarta. Dimulai dengan membubarkan polisi Indonesia, dan tanggal 29 Desember 1945 mengumumkan pembentukan Civilian Police (CP) yang terdiri dari Inggris, Belanda dan Indonesia. Markas-markas polisi Indonesia digrebeg, personal polisi Indonesia ditangkap dan dilucuti senjatanya.[4]
Inggris juga menghidupkan kembali Mahkamah Belanda. Pada tanggal 2 Januari 1946 Markas Besar Sekutu mengumumkan:[5]
“Sejumlah orang telah ditangkap (oleh polisi militer Inggris) karena dipersalahkan melakukan kejahatan terhadap pemerintahan militer Serikat, dan untuk kepentingan keadilan telah diputuskan oleh Panglima Tertinggi Serikat guna membentuk sebuah pengadilan militer untuk menuntut mereka yang tidak di bawah undang-undang militer Inggris dan telah melakukan kejahatan di dalam daerah yang termasuk daerah tentara Serikat di Hindia Belanda terhadap pemerintahan Serikat sebagai termaktub pada pasal 8 dan 11 dari pengumuman Mayor Jenderal D.C. Hawthorn D.S.O, Panglima tentara Inggris di Jakarta, Madura, Bali dan Lombok pada tanggal 13.10.1945.
Pengadilan itu adalah pengadilan Belanda, karena Belanda adalah kekuasaan yang berdaulat di Hindia Belanda, sebab sebuah pengadilan Inggris tidak dapat dibentuk untuk mengadili perkara-perkara termaksutub dalam bagian pertama di atas.
Pengadilan Belanda yang akan dibentuk itu merupakan bagian dari pemerintahan militer Serikat. Pengadilan itu akan terdiri dari seorang Presiden bangsa Belanda dan anggota-anggotanya, seorang atau lebih di antaranya mungkin orang-orang Indonesia yang dianggap cakap.
Dalam perkara-perkara di mana telah dijatuhkan hukuman mati, maka hukuman itu tidak akan dilakukan sebelum halnya diterima oleh panglima tertinggi Serikat.
Hukuman-hukuman yang lebih dari 2 tahun tidak akan dilakukan sebelum diperiksa oleh panglima tertinggi Serikat di Hindia Belanda”.
Dalam surat tersebut, Inggris untuk pertama kalinya membuka kedoknya dengan jelas menyatakan :
”...karena Belanda adalah kekuasaan yang berdaulat di Hindia Belanda...”
Di Pulau Jawa dan Sumatera, dimulai di Jawa Timur, pasukan-pasukan Indonesia yang pada awalnya bertempur melawan tentara Inggris, setelah beberapa bulan, ternyata musuh mereka adalah tentara Belanda. Di Kalimantan, Sulawesi, Irian, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara peran sebagai ujung tombak Belanda dilakukan oleh tentara Australia. Pada bulan November 1946, seluruh tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta dan perjanjian Chequers.
Memang Inggris masih memfasilitasi perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda, sehingga tercapai kesepakatan Linggajati –dekat Cirebon- pada bulan November 1946, tetapi sejarah juga mencatat, bahwa Belanda –seperti Inggris sebelumnya- berulang-kali melanggar kesepakatan atau pun perjanjian yang telah ditandatangani, baik oleh pimpinan sipil maupun militer. Nampaknya bagi mereka perjanjian dengan pimpinan dari negara bekas jajahan tidak ada artinya –ini jelas pelecehan yang sangat merendahkan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat. Perjanjian Linggajati ini dilanggar Belanda dengan melancarkan agresi militer pada 21 Juli 1947.
Yang jelas adalah, setelah usai Perang Dunia II dan Perang Pasifik, Belanda tidak dapat segera mengirim tentara dalam jumlah besar ke Indonesia, dan ini dilakukan oleh Inggris dan Australia, yang memiliki beberapa divisi di Asia Tenggara. Tanpa bantuan militer dari Inggris dan Australia untuk menghancurkan kekuatan tentara Republik Indonesia, Belanda tidak mungkin dapat kembali menguasai Indonesia, walaupun di beberapa daerah hanya untuk beberapa tahun.
Kesimpulan
Terlepas dari adanya konspirasi Inggris, Australia dan Belanda untuk menegakkan kembali kolonialisme Belanda di Indonesia, rangkaian peristiwa yang mengawali tragedi kemanusiaan di Surabaya pada bulan November 1945 perlu mendapat penilaian baru. Secara politis, konspirasi tersebut menjadi tanggung jawab dari negara-negara yang ingin memutar balik arah jarum jam. Begitu juga dengan Amerika Serikat dan Inggris, yang tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang telah ditandatangani oleh Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill. Ternyata Piagam Atlantik tersebut hanyalah suatu “lip service” yang ditujukan negara-negara yang saat itu dijajah oleh negara-negara Eropa, untuk mendapat dukungan, karena dalam suasana perang di Eropa serta ancaman kekuatan Jepang di Asia, telah terlihat pada bulan Agustus 1941, setelah tentara Jepang mulai memasuki Indo China bagian utara pada bulan Juli 1941. Amerika Serikat dan Inggris kuatir, bahwa negara-negara jajahan tersebut akan memberi dukungan kepada Jepang.
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
Ø Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
Ø Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
Ø Tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
Ø Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.
Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
v Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat granat yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan pendapat J.G.A. Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu pertanyaan ke 3, mengenai siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier Mallaby:
” Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?”
Parrot berpendapat, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri:
” ….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in his death.”
Kesimpulan inilah yang sangat penting!
v Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby- telah diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah tentara Inggris yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor Gopal. Dengan demikian, terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby adalah kesalahan Inggris. Para pemimpin Indonesia mengatakan, bahwa mereka mempunyai risiko yang sama seperti Mallaby, untuk terkena tembakan. Dalam tembak-menembak yang timbul setelah tentara Inggris melanggar gencatan senjata, korban tewas di pihak Indonesia saat itu jauh lebih besar.
v Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan demikian Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober 1945 antara pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik Indonesia di Surabaya.
Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas, dari rangkaian kejadian tersebut di atas, dapat ditarik benang merah, sehingga dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjafdi di Surabaya pada bulan November 1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan Inggris.
Sebenarnya, hal ini juga diakui oleh Letnan Kolonel van der Post, yang menuliskan:[6]
“… Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at that time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with the polpulation, the story of Sourabaya may well have been different..."
Pelanggaran Yang Dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945, tentara Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil analisis, pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah sebagai berikut:
v Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945. Situasi di wilayah bekas Hindia Belanda berbeda dengan bekas-bekas jajahan di Asia. Ketika Jepang menyerbu Asia Tenggara, Belanda secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Kemudian Jepang sendiri menyatakan menyerah tanggal 15 Agustus 1945. Secara resmi, Amerika Serikat menerima penyerahan Jepang pada bulan September 1945. Jadi sejak 15 Agustus 1945, boleh dikatakan tidak ada pemerintahan di wilayah bekas Hindia Belanda. Sebagaimana dikemukakan oleh Delegasi Indonesia dalam Memorandum yang disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB tanggal 20 Januari 1949, yaitu
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
v Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan pernyataan kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan resmi hanya masalah waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for Selfdetermination" (hak untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa) dan kerjasama antar bangsa dalam menyelesaikan pertikaian internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.[7]:
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki supaya hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination) dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”
Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945. Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi dasar pembentukan PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris sebagai salah satu negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan sendiri. Ini dapat dilihat dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera:
“The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries committed to preserving peace through international cooperation and collective security. When States become Members of the United Nations, they agree to accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which sets out basic principles of international relations. According to the Charter, the UN has four purposes: to maintain international peace and security, to develop friendly relations among nations, to cooperate in solving international problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for harmonizing the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN, all the Member States - large and small, rich and poor, with differing political views and social systems - have a voice and vote in this process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945, setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace, Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya memang benar, bahwa Inggris terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka setujui dan tandatangani.
v Pelanggaran Preambel PBB.
Dalam Preambel PBB tertulis a.l.[8]
- to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and
- to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
- to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintained, and
- to promote social progress and better standards of life in larger freedom,
AND FOR THESE ENDS
- to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours, and
- to unite our strength to maintain international peace and security, and
- to ensure, by the acceptance of principles and the institution of methods, that armed force shall not be used, save in the common interest, and
- to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples,
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly, our respective Governments, through representatives assembled in the city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be in good and due form, have agreed to the present Charter of the United Nations and do hereby establish an international organization to be known as the United Nations.
v Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB.[9]
Bab 1, Pasal 1:
The Purposes of the United Nations are:
1. To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
2. To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
3. To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
4. To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.Bab 1, Pasal 2:
The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in accordance with the following Principles.
1. All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
2. All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United Nations is taking preventive or enforcement action.
3. The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security.
4. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.
v Pelanggaran HAM
- Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)
Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya.
- Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.
v Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga butir, yaitu:
1. Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke negaranya.
2. Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
3. Memulihkan keamanan dan ketertiban (To maintain Law and Order).
Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada pada keputusan konferensi Yalta serta perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat dokumen Lord Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied Forces serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied Forces kepada tentara Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik keputusan konferensi Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam, serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando Tentara Sekutu Asia Tenggara.
v Kejahatan Perang? (War Crime)
- Dengan menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 dan penyerahan tersebut diterima oleh Amerika Serikat yang mewakili Sekutu pada tanggal 2 September 1945, secara resmi Perang Dunia ke II telah usai.
- Tidak ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik dari pihak Inggris maupun dari pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya pertempuran. Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas ekstremis, dengan mengabaikan bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Agresi militer yang dilakukan oleh tentara Inggris –terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks perang dan tanpa pernyataan perang. Jadi agresi militer ini perlu diteliti, apakah dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan perang (war crime).
Epilog
Setelah agresi militer yang dilancarkan di Surabaya yang menelan korban sangat banyak di kalangan penduduk sipil, kecaman terhadap Inggris meningkat, bukan saja dari dunia internasional, bahkan di dalam negeri sendiri sikap pemerintah Inggris yang membantu Belanda dalam bidang militer, dipertanyakan; juga dari kalangan Partai Buruh yang sedang berkuasa. Kritik tajam terhadap Inggris di PBB pertama kali dilontarkan oleh Republik Ukraina tanggal 21 Januari 1946.[10] Tokoh pemimpin India, Pandit Jawaharlal Nehru, tak henti-hentinya mengecam tindakan Inggris di Indonesia, terutama digunakannya banyak orang India di Divisi-Divisi Inggris yang bertempur di Indonesia.
Akhirnya pemerintah Inggris mencari jalan tengah, yaitu di satu pihak, untuk memenuhi komitmen dengan Belanda, tetap melancarkan serangan terhadap kekuatan militer Indonesia, namun di lain pihak, berusaha mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Dengan demikian, Inggris tidak akan dicap sebagai pengkhianat oleh Belanda, dan dengan secepatnya “menyerahkan” Indonesia kepada Belanda, mereka juga lepas dari sasaran kecaman dari dunia internasional. Pemerintah Inggris mengirim utusan khusus, Sir Archibald Clark-Kerr ke Indonesia, untuk merintis perundingan antara Belanda dengan Indonesia.
Namun beberapa kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Inggris dan pimpinan militernya dalam rangka menempuh “jalan ketiga”, sangat merugikan pihak Republik Indonesia. Hal ini dimulai dengan melepaskan wewenang atas seluruh wilayah Indonesia bagian timur kepada tentara Australia, sehingga ketika merintis perundingan yang membuahkan persetujuan Linggajati, Belanda “dengan senang hati” menyetujuinya, karena dalam perjanjian tersebut, diakui de facto Pemerintah Republik Indonesia di Jawa, Sumatera dan Madura, yaitu wilayah yang berada di bawah wewenang Inggris, sedangkan seluruh wilayah Indonesia bagian timur, secara otomatis di bawah administrasi Belanda –NICA.
Dengan demikian Dr. van Mook dapat dengan leluasa merealisasikan rencananya, yaitu membentuk negara-negara di wilayah kekuasaan NICA, yang kemudian tergabung dalan Bijeenkomst voor federaale Overleg – BFO (Musyawarah Negara-Negara Federal). Apabila Negara Indonesia Serikat hasil persetujuan Linggajati direalisasikan, maka negara-negara Federal bentukan van Mook akan menjadi mayoritas dalam Negara Serikat tersebut. Di sini terlihat jelas konspirasi Inggris, Australia dan Belanda.
Sementara tentara Inggris dan Australia menghancurkan kekuatan militer Republik Indonesia, Belanda dapat dengan tenang memperkuat angkatan perangnya di Indonesia, yaitu di samping mendatangkan tentara regulernya, baik Angkatan Darat (Koninklijke Landmacht -KL) maupun Angkatan Laut (Koninklijke Marine –KM) dari negeri Belanda, Belanda merekrut orang-orang Indonesia pro Belanda untuk menjadi serdadu KNIL. Setelah kekuatan seluruh pasukan Belanda seimbang dengan pasukan Inggris dan Australia, barulah kemudian Inggris dan Australia menarik seluruh pasukan mereka dari wilayah Indonesia, dan setelah itu mereka mencuci tangan.
Memang sejak semula, para petinggi Belanda, baik di Jakarta maupun di Den Haag, apalagi setelah kunjungan Laurens van der Post ke negeri Belanda- mereka tidak sepenuhnya percaya kepada Inggris, yang sudah jelas ingin sekali mengundurkan diri secepat mungkin.[11] Itu sebabnya mereka selalu mendesak Pemerintah Inggris untuk memenuhi perjanjian bilateral, CAA, dan meminta, paling tidak tentara Inggris tetap di Indonesia, sampai tentara Belanda siap mengambil alih dari tentara Inggris dan Australia. Pertengahan April 1946, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Jenderal Simon Hendrik Spoor, yang menggantikan Jenderal van Oyen, menyatakan bahwa pasukan di bawah pimpinannya sudah berjumlah 30.000 orang.[12] Dan pada saat Inggris menarik serdadu terakhir mereka tanggal 30 November 1946, diperkirakan Jenderal Spoor telah memiliki sekitar 80.000 tentara di Indonesia. Dan jumlah itu ditambah terus.
Melihat bahwa Belanda berulang kali melanggar persetujuan yang telah dicapai –Linggajati dan Renville-, maka perundingan-perundangan yang memakan waktu berbulan-bulan, hanyalah upaya mengulur waktu agar supaya mereka dapat dengan tenang memperkuat Angkatan Perang, baik yang didatangkan dari Belanda, maupun yang direkrut di Indonesia. Setelah mereka sudah sangat kuat, dilancarkan serangan untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Pelajaran Surabaya, demikian van der Post, terjadi karena disinformasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris. Memang van der Post berandai-andai; bahwa peristiwa Surabaya akan lain:[13]
“… Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at that time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamation for him and to keep [in] continuous and informed contact with the population, the story of Sourabaya may well have been different …
… It was all very well for Mr van der Plas to tell the Commander at Allied Forces Netherlands East Indies:
‘The Indonesians are too nice people to fight really hard.’
Sourabaya gave him and the Helfrich school who clamoured:
‘A couple of whiffs of grapefruitshot and all will be over’,
the direct lie. From 28th of October to the end of November when we finished our mopping-up operation in Sourabaya, using sea, air and land forces, we had 400 casualties. The Indonesians lost approximately 6,000 killed. And the heart is not out of them yet.”
Memang jelas, dari sudut pandang Inggris, “The story of Sourabaya” akan menjadi lain,
- seandainya Mayjen Hawthorn mempunyai perwira untuk urusan sipil dan untuk politik yang akan menyusun teks pernyataannya yang membawa bencana (pamflet tanggal 27 Oktober 1945 -–pen.),
- seandainya Admiral Lord Louis Mountbatten mempunyai informasi lengkap dari dinas intelijennya, mengenai situasi yang akan dihadapi oleh tentara Sekutu di Indonesia, ketika dia mendapat pelimpahan tugas dari Jenderal MacArthur,
- seandainya Pemerintah Belanda mendengar nasihat Kolonel van der Post, Gubernur Militer Batavia, yang diutus oleh Perdana Menteri Inggris Atlee, bahwa situasi di Indonesia telah berubah dengan radikal, sejak Belanda pada tanggal 8 Maret 1942, menyerahkan Indonesia kepada tentara pendudukan Jepang, tanpa berusaha untuk mempertahankannya,
- seandainya petinggi militer dan sipil Belanda tidak memberikan informasi yang salah (ill information) kepada pimpinan militer Inggris mengenai mental dan semangat berjuang bangsa Indonesia, di mana Belanda menyebutkan, bahwa bangsa Indonesia terlalu lunak untuk dapat bertempur dengan keras, dan dengan beberapa kepulan asap tembakan, semua akan berakhir,
- seandainya Brigadier Mallaby tidak menganggap remeh rakyat Surabaya dan menghargai mereka sebagai rakyat dari negara yang merdeka dan berdaulat,
Berandai-andai ini masih dapat diteruskan, namun pada intinya menunjukkan, bahwa sangat banyak faktor dan penyebab yang mengakibatkan targedi kemanusiaan tersebut dapat terjadi.
Dari sudut pandang Indonesia misalnya, peristiwa tersebut dapat dihindari, seandainya dari awal, para pemimpin Republik tidak menelan bulat-bulat pernyataan serta keterangan pimpinan tentara Sekutu, sebab telah terbukti dan selalu berulang, bahwa setiap kali pihak Sekutu -termasuk Belanda- dalam kesulitan, terdesak atau pasukannya terkurung, mereka mengajak berunding, agar mereka memperoleh waktu untuk memperkuat pasukannya.
Dari strategi militer, terkepungnya Brigade 49 di Surabaya, bahkan terancam akan dimusnahkan, sebenarnya dapat menjadi kartu truf (unggulan) Republik Indonesia yang akan memperkuat kedudukan (bargaining position) dalam perundingan dengan pihak Sekutu untuk memperoleh pengakuan kedaulatan.
Bahkan di Vietnam, keberhasilan Jenderal Vo Nguyen Giap -seorang mantan guru sekolah, sebelum Perang Dunia II- mengepung pertahanan tentara Prancis di Dien Bien Phu tahun 1954 sehingga tentara Prancis tersebut menyerah, telah memaksa Prancis ke meja perundingan, di mana akhirnya tahun 1956, seluruh tentara Perancis ditarik dari Vietnam. Mengenai peristiwa di Surabaya tersebut, dalam bukunya, Nasution mengemukakan pendapat:[14]
“Secara obyektif haruslah dinyatakan kesimpulan, bahwa bencana ini dapat dihindarkan, jika pada akhir Oktober Brigade Mallaby yang kecil itu didesak terus, yang sudah dekat kepada menyerah, karena terjepit dan terpecah-pecah, kehabisan peluru dan makanan, sedangkan balabantuan tak mungkin dalam waktu yang singkat dapat dikerahkan. Maka Surabaya seluruhnya dapat dikuasai oleh kita kembali, sehingga balabantuan
Divisi 5 yang memerlukan waktu untuk datang dan bersiap sampai tanggal 8 November 1945, terpaksa melakukan operasi pendaratan belaka, sedangkan pimpinan pertempuran kita dapat lebih teratur. Keterangan-keterangan dalam Memoires Admiral Helfrich menggambarkan betapa sukarnya keadaan Inggris, sehingga ia harus minta tolong kepada Presiden Sukarno. Dan konferensi Jakarta 23 November 1945 serta konferensi Singapura tanggal 6 Desember 1945 antara Panglima-Panglima Sekutu tetap mempertimbangkan pengosongan kota Surabaya, karena tak cukup tenaga.”
Walau pun van der Post secara tidak langsung berpendapat, bahwa peristiwa Surabaya seharusnya dapat dihindarkan, namun dari segi kemiliteran, dia sangat memuji Mansergh dan Divisi 5 atas keberhasilan dan kehebatan mereka dalam pertempuran di Surabaya. Mengenai Divisi 5 dia menulis:[15]
“All the points that Nehru made in general were vividly illustrated by the three Indian Army divisions we had in Java, particularly the 5th Division which I had already encountered in Abyssinia and the Western Desert and which had fought so brilliantly in the battle for Sourabaya …”
Sedangkan mengenai “kehebatan” Mayor Jenderal Mansergh di Surabaya, van der Post menulis:
“As for General Mansergh homself, I had met him just after the battle for Sourabaya –which he conducted superbly- and after he had been in command of the 5th Division for some weeks.”[16]
“… The report this time came from General Mansergh, who had led the British troops so brilliantly in the battle for Sourabaya after the Mallaby murder, and had now taken over the command of the allied forces in the NEI.”[17]
Pertempuran antara tentara Inggris melawan rakyat Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera berlangsung terus dengan sengit, dan menelan sangat banyak korban, tentunya terutama di pihak Indonesia. Inggris konsisten menjalankan strateginya, yaitu di satu pihak, tetap melakukan "pembersihan" dan ”menyerahkan daerah-daerah yang telah dibersihkan tersebut kepada Belanda, sesuai dengan Civil affairs Agremeent –perjanjian bilateral antara Inggris dengan Belanda-, di pihak lain, memfasilitasi pertemuan, yang kemudian berlanjut menjadi perundingan-perundingan resmi antara Republik Indonesia dengan Belanda.
Setelah melihat pertempuran yang sengit di Surabaya, Ambarawa serta daerah-daerah lain di Jawa dan Sumatera, akhirnya Belanda menerima kebijakan yang diambil oleh pimpinan militer Inggris di Indonesia, yaitu perselisihan dengan pihak Republik Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan cara militer; perkiraan Belanda bahwa Republik akan segera runtuh tidak menjadi kenyataan, bahkan sebaliknya, Republik Indonesia semakin kukuh dan mantap. Van der Post menuliskan:[18]
(a) the Dutch had been wrong in regarding nationalism as the special product of the Japanese occupation –the roots went much deeper than that;
(b) it was obvious that there could be no military solution to the problem;
(c) they had been too ready to assume that the republic would soon collapse whereas it was clear that it had been consolidating itself all the time.
Semula Belanda menolak dengan tegas untuk berhubungan dengan Sukarno- Hatta, atau siapa pun dari kabinet Republik waktu itu, yang mereka nilai sebagai kolaborator Jepang. Pemerintah Belanda di Den Haag sangat marah mendengar kesediaan van Mook untuk bertemu dengan Sukarno. Kemudian pihak Belanda menyetujui untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan Republik yang “moderat”, yang semasa pendudukan Jepang tidak berkolaborasi dengan Jepang, seperti Sutan Syahrir dan Amir Sayrifuddin. Di Inggris, Clement Atlee dari Partai Buruh (Labour Party) yang berhaluan sosialis, menjadi Perdana Menteri menggantikan Sir Winston Churchill. Di negeri Belanda, Profesor Willem Schermerhorn dari Partij van de Arbeid, juga berhaluan sosialis, menggantikan pemerintahan eksil di bawah Perdana Menteri Gerbrandy. Syahrir, yang ketika di negeri Belanda bergabung dengan kelompok sosialis Belanda, berhasil meyakinkan Presiden Sukarno untuk mengadakan perubahan kabinet. Menurutnya, apabila Pemerintah Republik Indonesia juga dipimpin oleh golongan sosialis yang dapat diterima oleh golongan sosialis Belanda dan Inggris, akan memudahkan adanya “meeting of minds”, antara ketiga pemerintahan sosialis.[19]
Presiden Sukarno menerima usul Syahrir untuk melakukan perubahan kabinet, dan -dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat- membentuk kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Berarti perubahan dari Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Subarjo menamakan langkah ini sebagai “silent coup d’etat” (kudeta secara diam-diam).[20] Tanggal 14 November 1945, diumumkan pembentukan kabinet baru dengan susunan (sebagian) sebagai berikut:[21]
1. Perdana Menteri : Sutan Syahrir
2. Menteri Dalam Negeri : Sutan Syahrir
3. Menteri Luar Negeri : Sutan Syahrir
4. Menteri Keamanan Rakyat : Mr. Amir Syarifuddin Harahap
5. Menteri Penerangan : Mr. A.Syadifuddin Harahap (kemudian diganti
oleh Mohammad Natsir)
6. Menteri Kehakiman : Mr. Suwandi
7. Menteri Pekerjaan Umum : Ir. Putuhena
8. Menteri Kesehatan : dr. Darmasetiawan
Melihat susunan kabinet tersebut, Profesor Logeman, Menteri Urusan Daerah Seberang Laut, berkomentar:[22]
“They are all honouable men and we should like to negotiate with them.”
Bahkan van Mook yang sangat anti Republik, mengatakan kepada Jenderal Christison dan Denning:
“They are good people.”
Pertemuan pertama antara Belanda dengan pihak Republik Indonesia berlangsung tanggal 17 November 1945. Delegasi Belanda dipimpin langsung oleh Dr. van Mook, sedangkan pihak Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir. Setelah usai perundingan yang berlangsung lebih dari 4 jam, orang-orang Belanda saling menepuk punggung mereka dan dengan puas mengatakan, betapa hebatnya mereka “menunjukkan” sikap kepada orang-orang Indonesia yang kecil dan kurang ajar.
Setelah menghadiri petemuan puncak tanggal 6 Desember 1945 di Singapura, van Mook berangkat ke negeri Belanda tanggal 15 Desember 1945. Dia juga pergi ke London bersama Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Belanda, di mana delegasi Belanda tersebut memperoleh isyarat yang baik dari Pemerintah Inggris. Kesempatan emas tersebut digunakan juga oleh van Mook untuk menyampaikan keluhannya atas sikap yang ditunjukkan pimpinan militer Inggris di Indonesia, yang dinilainya kurang kooperatif dengan Belanda.[23]
Sementara itu, Belanda menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan.
Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Irian Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948; Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang; bahkan Datu Suppa dibunuh.
Belanda menyelenggarakan “Konferensi Malino” (dekat Makassar) tanggal 16 – 22 Juli 1946, yang dihadiri oleh 39 orang Indonesia pilihan mereka.[24] Kemudian untuk mengukuhkan posisi ini, setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, Belanda menggelar lagi “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946, yang dihadiri utusan-utusan dari Indonesia timur.[25]
Di bidang militer, terutama di luar Pulau Jawa, tentara KNIL melancarkan aksi teror terhadap penduduk, seperti yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turk” Westerling di Sulawesi Selatan. Pemeriksaan Parlemen Belanda tahun 1969 memperkirakan, sekitar 3.000 rakyat Sulawesi yang tewas dibantai oleh pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)-nya Westerling. Tahun 1947, delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian berkisar 20.000 – 40.000 jiwa, sedangkan Weterling sendiri mengakui korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya, “hanya” 600 (!) orang.[26]
Sementara itu, pulau Bali ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Menjelang persiapan “Konferensi Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda. Tanggal 19 November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan. Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946 pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari udara. Setelah melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00 pertempuran berhenti.
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai bunga bangsa, bersama 96 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November 1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana.[27] Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda, yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat patuh kepada mereka.
Bahkan dalam pemilihan Presiden Negara Indonesia Timur pada “Konferensi Besar” pada bulan Desember 1946, Cokorde Gde Raka Sukawati hanya menang tipis, yaitu 36 lawan 32, atas saingannya, Mr. Tajuddin Noor, yang sebelum dibubarkan Belanda tanggal 8 September 1946, adalah Ketua Partai Nasional Indonesia di Sulawesi. Mr. Tajuddin Noor adalah pendukung Republik, dan menjadi oposisi yang vokal dalam Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van Mook.[28]
Di pihak Indonesia tersiar berita, mengenai adanya tukar-menukar usulan secara rahasia, antara Syahrir dengan van Mook. Ketika menyampaikan hasil perundingan pada bulan Februari 1946 di Yogyakarta, Syahrir mendapat tentangan dari beberapa kalangan, yang tidak menginginkan kompromi dengan Belanda. Syahrir dinilai terlalu mengalah kepada pihak Belanda. Telah terdengar berita, Syahrir telah menyetujui, bahwa wilayah Republik Indonesia yang akan diakui hanyalah Jawa, Sumatera dan Madura.
Pemberitaan mengenai isi usulan bersimpang siur dan menambah keruh suasana di pihak Indonesia dan menambah kemarahan kelompok penentang Syahrir, terutama dari Persatuan Perjuangan (PP) di bawah pimpinan Tan Malaka. PP menuntut, dasar perundingan adalah Republik Indonesia 100 % merdeka dengan wilayah yang mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, tanpa memberikan konsesi apa pun kepada Belanda. Kelompok garis keras ini menuntut, perundingan dengan Belanda dilakukan, setelah Belanda mengakui kedulatan Republik Indonesia.
Ketika berlangsung Kongres PP di Malang, tanggal 17 Maret 1946, tokoh-tokoh PP seperti Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni dan Abikusno ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Di dalam penjara, Tan Malaka berkenalan dengan Sabaruddin, yang kemudian menjadi pengikutnya.[29] Tokoh-tokoh politisi Indonesia pada waktu itu nampaknya mengikuti cara-cara penjajah dalam menghadapi lawan politiknya, yaitu menangkap dan memasukkan para penentang ke penjara.
Kelompok penentang lain a.l. adalah dr. R. Buntaran Martoatmojo dan adiknya, R. Sundoro Budhyarto Martoatmojo, Mr. R. Iwa Kusumasumantri, Chairul Saleh serta Mayor Jenderal Sudarsono, Panglima Divisi III (Jawa Tengah). Tanggal 27 Juni 1946, Sudarsono memberi surat perintah kepada Mayor Abdul Kadir Yusuf, untuk menangkap Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ikut ditangkap bersama Syahrir di Solo a.l. dr. Sudarsono, Mayor Jenderal Sudibyo dan Sumitro Joyohadikusumo. Mereka kemudian dibawa ke Paras, sebelah barat Solo.[30]
Pada tanggal 30 Juni, petang hari, Presiden Sukarno menyampaikan pidato radio yang dinilai banyak kalangan, sebagai pidato yang mengagumkan. Malam itu juga, Syahrir serta tahanan lain dibebaskan, dan langsung dibawa dengan pesawat terbang ke Jakarta. Tanggal 1 Juni, dilakukan “pembersihan” di seluruh Yogyakarta, di mana Buntaran, Budhyarto, Adam Malik, Pandu Kartawiguna serta sejumlah tokoh lain ditangkap; sedangkan Iwa Kusumasumantri dan M. Yamin lolos. Mayjen Sudarsono memerintahkan untuk membebaskan para tahanan politik tersebut. Pada tanggal 3 Juli 1946, terjadi peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana sekitar 100 tokoh oposisi ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Perundingan dengan Belanda kemudian dilanjutkan di Hoge Veluwe, Belanda, tanggal 14 – 24 April 1946. Namun dapat dikatakan, bahwa perundingan di Hoge Veluwe tersebut gagal total, karena kehadiran peserta perundingan dari Indonesia, sangat diremehkan di negeri Belanda.[31]
Tanggal 17 Mei 1946, di negeri Belanda diselenggarakan pemilihan umum, yang pertama setelah bebas dari pendudukan Jerman. Partai Katolik yang ultra konservatif, keluar sebagai pemenang, sedangkan Partai Liberal-Sosialis, yang selama ini berkuasa, melorot ke posisi dua. Dr. L.M.J. Beel menjadi Perdana Menteri, menggantikan Prof. W. Schermerhorn. Tanggal 2 Oktober 1946, dibentuk kabinet ketiga Syahrir.[32]
Sementara itu, Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia. Belanda juga membentuk satu Divisi yang dinamakan “Divisi 7 Desember“, sesuai dengan tanggal pidato radio Wilhelmina di tempat pelarian di London. Pada bulan Juli 1946, Australia telah menyerahkan daerah-daerah yang telah mereka “bersihkan” kepada NICA.
Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan rakyat Indonesia, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, ketika Perang Dunia II pecah di Eropa- kembali ke negaranya, dan pada bulan November 1946 seluruh tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta dan perjanjian Chequers.
Perundingan untuk menyelesaikan masalah politik dilanjutkan di meja perundingan. Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Baron Miles Lampson Killearn, untuk menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik, dan kemudian Sir Archibald Clark Kerr begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.[33]
Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, kemudian diganti oleh Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari Hindia Belanda tahun 1811. Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia; dia sangat tidak menyenagi situasi yang dihadapi yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak tepat untuk seorang perwira dan seorang gentlemean. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post:[34]
“I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”
Jenderal Sir Montague Stopford tidak bertahan lama, dan kemudian digantikan oleh Jenderal R.C. Mansergh, yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada bulan November 1946.
Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris, kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa keganasan sikap orang Belanda dan serdadu mereka terhadap rakyat Indonesia, telah membuat syok serdadu Inggris:[35]
“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers.”
Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut di awal masa tugasnya di Indonesia, sehingga brutalitas Belanda terhadap rakyat Indonesia dapat lebih cepat diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan, kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya.
Akhirnya, dalam perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada bulan November 1946 di Linggajati, dekat Cirebon, tercapai kesepakatan yang dinamakan Persetujuan Linggajati, yang isinya:
Persetujuan Linggajati
Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat hari ini telah mendapat kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemaparan naskah yang tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia masing-masing tiga rangkap.
Pemerintah Belanda
Dalam hal ini diwakili oleh Komisi Jenderal
Dan Pemerintah Republik Indonesia,
Dalam hal ini diwakili oleh Delegasi Indonesia
Oleh karena mengandung keinginan yang ikhlas hendak menetapkan hubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia, dengan mengadakan cara dan bentuk bangunan yang baru, bagi kerjasama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus, serta dengan kukuh-teguhnya daripada kedua negeri itu, di masa datang, dan membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran daripada majelis-majelis perwakilan rakyatnya masing-masing.
Pasal 1
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Sekutu atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, dengan segera akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang tersebut itu telah selesai.
Pasal 2
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamakan Negara Indonesia Serikat.
Pasal 3
Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan, bahwa, jika penduduk dari suatu bagian daerah, setelah dimusyawarahkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perikatan Negara Indonesia serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu dan terhadap Kerajaan Belanda.
Pasal 4
(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Borneo dan Timur Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk dari suatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan demokratis, supaya kedudukannya dalm Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat (1) ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibunegerinya.
Pasal 5
(1) Undang-undang Dasar dari Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan terdiri dari wakil-wakil Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjuk dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat ketentuan yang berikut dalam pasal ini.
(2) Kedua belah pihak akan bermusyawarah tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonsia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggungjawab dari Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.
Pasal 6
(1) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela –peliharakan kepentingan-kepentingan bersama dari Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerjasama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari Negara Indonesia Serikat.
(2) Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak kemudian berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao satu dengan lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini, Persekutuan Belanda – Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
(2) Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Negara Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majelis-majelis perwakilan rakyat negara-negara itu.
(3) Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerjasama dalam hal hubungan luar negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 8
Di pucuk Persekutuan Belanda–Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh alat-alat kelengkapan Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.
Pasal 9
Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
Pasal 10
Anggaran Dasar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain akan mengandung juga ketentuan-ketentuan tentang:
(a) Pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menepati kewajiban-kewajiban yang satu dengan yang lain;
(b) Hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya;
(c) Aturan cara bagaimana menyelesaikan, apabila dalam alat-alat kelengkapan Persekutuan itu tidak dapat dicapai mufakat.
(d) Aturan cara bagaimana dan dengan syarat apa alat-alat kelengkapan Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;
(e) Pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan Bangsa-Bangsa.
Pasal 11
(1) Anggaran Dasar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
(2) Anggaran Dasar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majelis-majelis perwakilan rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.
Pasal 12
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.
Pasal 13
Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah terbentuknya Persekutuan Belanda-Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggota di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 14
Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bangsa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Suabuah panitia bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
Pasal 15
Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk susunan menurut hukum negara, yang direkankan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan, supaya sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.
Pasal 16
Dengan segera setelah persetujuan ini menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan balatentara masing-masing.
Kedua belah pihak akan bermusyawarah tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan penguranagn itu; demikian juga tentang kerjasama dalam hal ketentaraan.
Pasal 17
(1) Untuk kerjasama yang dimaksud dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudkan sebuah badan, yang terdiri dari delegasi-delegasi yang ditunjuk oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.
(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila timbul perselisihan sehubungan dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan dengan perundingan antara dua delegasi yang tersebut itu, maka menyerahkan keputusan arbitrase. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan mufakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil mufakat itu, diangkat oleh Ketua Dewan Pengadilan Internasional.
Pasal Penutup
Persetujuan ini dibuat dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya.
Jakarta, 15 November 1946.
Butir yang terpenting bagi Indonesia, dan menjadi pertentangan di kalangan Republik Indonesia, tertuang dalam pasal 1, yaitu:
“Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”
Kelompok “garis keras” menuntut sejak awal, pengakuan atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda. Namun, Persetujuan Linggajati juga menunjukkan, bahwa pada akhirnya Inggris dan Belanda mengakui de facto kekuasaan Republik Indonesia hanya atas beberapa wilayah, yaitu di Jawa, Sumatera dan Madura, walau pun kemudian Belanda melanggar persetujuan Linggajati dengan melancarkan agresi militernya tanggal 21 Juli 1947, yang dikenal sebagai Agresi I. Belanda menyebut agresi militer mereka sebagai aksi polisional, karena tetap mengganggap Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda.
Sejarah mencatat –seperti juga Inggris- Belanda berkali-kali melanggar persetujuan atau perjanjian yang telah mereka tandatangani bersama Republik. Atas pelanggaran Belanda terhadap persetujuan Linggajati, Republik Indonesia mengadukan agresi militer Belanda kepada Dewan Keamanan PBB, yang segera membentuk Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia), yang lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena terdiri dari wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat. Dengan difasilitasi oleh KTN, dicapai Persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948.
Belanda kembali melanggar Persetujuan Renville, dengan melancarkan agresi militer tanggal 19 Desember 1948, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II. Bagi Belanda, ini tetap sebagai aksi polisional, sedangkan bagi Republik, ini adalah Perang Kemerdekaan II. Agresi militer Belanda kali ini benar-benar membuat marah seluruh dunia, hampir tanpa kecuali, terutama Amerika Serikat, yang merasa ditampar oleh Belanda, karena di samping ketua KTN adalah orang Amerika Serikat, pada waktu itu Amerika Serikat membuat program pemulihan ekonomi negara-negara eropa Barat yang disebut European Recovery Programm (ERP, juga dikenal sebagai Marshall Plan), termasuk Belanda.
Berbagai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan, diabaikan oleh Pemerintah Belanda, yang membuat banyak negara semakin marah, dan tekanan terhadap Pemerintah Belanda semakin keras. Akhirnya Belanda terpaksa menyetujui diselenggarakannya suatu perundingan, sebagai tindaklanjut Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville. Pada bulan Agustus - November 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, di mana dicapai kesepakatan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat, yang mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda kecuali Irian Barat, yang baru diserahkan oleh Belanda kepada Republik Indonesia tahun 1961.
Ternyata banyak pengikut Belanda yang tidak mau menerima hasil keputusan KMB dan melakukan berbagai aksi, dari mulai teror yang dilakukan oleh Kapten Raymond Pierre Westerling bersama APRA di Bandung, bulan April 1946; usaha pembunuhan pimpinan Republik, yang juga melibatkan Sultan Hamid II sehingga dia ditangkap; pemberontakan Andi Azis, mantan perwira KNIL, di Sulawesi Selatan; hingga pemberontakan Dr. Soumokil dkk, yang memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS).
Tentara Inggris yang terakhir, meninggalkan Indonesia tanggal 30 November 1946, sedangkan pimpinan militer dan sipil terakhir meninggalkan Indonesia pada pertengahan tahun 1947, termasuk Laurens van der Post, yang meninggalkan Indonesia untuk selamanya –dan tidak pernah kembali lagi- pada bulan Juni 1947. Maka berakhir juga masa interregnum II dari Inggris di Indonesia.
Penutup
Walau pun peristiwa ini telah terjadi lebih dari 55 tahun lalu, demi meluruskan penulisan sejarah, penegakan Hak Asasi Manusia serta mempertahankan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, pihak Indonesia harus mengupayakan segala sesuatunya untuk mengungkap latar belakang agresi militer yang dilakukan Inggris mulai tanggal 10 November 1945.
Bantuan Inggris kepada Belanda telah berangkat dari titik tolak yang salah, yaitu claim Belanda atas bekas jajahannya. Mengenai hal ini, dikemukakan secara rinci dalam memorandum Delegasi Indonesia kepada Dewan Keamanan PBB, tanggal 20 Januari 1949, yang berbunyi a.l.:[36]
“…Pendirian Belanda yang hanya berpegang kepada legalitas secara dogmatik akan selalu menghambat tercapainya suatu persetujuan. Berhubung pendiriannya yang demikian itulah Republik dianggapnya sesuatu yang illegal, dan bahwa kedaulatan di seluruh daerah Indonesia berada di tangannya.
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.
Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang.
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggris.
Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Tidak ada seorang pun orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu puteranya menjadi korban harga mahal sekali berupa beribu-ribu puteranya menjadi korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk memungkinkan Indonesia mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang Belanda, kami menebusnya dengan darah.
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggungjawabnya atas Indonesia.
Dari segala segi, “hak sejarah” yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan. Persetujuan yang sah yang tidak mengandung keadilan dan yang terlepas dari kenyataan sejarah yang baru berlalu, tidaklah bisa disebutkan sesuai dengan kewajaran jalannya sejarah…”
Dari pengupasan fakta-fakta di atas jelas terlihat, bahwa alasan yang dikemukakan Inggris dalam ultimatum tertanggal 9 November 1945 telah terbantah, bahkan sebenarnya harus dinyatakan dengan tegas: Salah besar! Dari beberapa bukti, dokumen serta pengakuan dari mantan perwira-perwira Inggris, seperti Mayor Venu Gopal, Kapten Smith dan Kapten Shaw, ternyata Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI –Tentara Sekutu untuk Hindia Belanda dan Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5 (5th British- Indian Division), telah memutar-balikkan fakta.
Ketika Inggris tiba di Indonesia, mereka menyatakan tidak mengakui Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 –seperti tertera dalam satu dokumen yang jatuh ke tangan pihak Indonesia dalam pertempuran 28/29 Oktober 1945; namun ketika Brigade 49 terancam akan mengalami kehancuran total, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tertinggi Sekutu untuk seluruh Indonesia, meminta Presiden Soekarno untuk melerai “Soerabaya-incident.” Pengakuan terhadap Sukarno sebagai Presiden RI tertuang pertama kali dalam kesepakatan yang ditandatangani Brigadier Mallaby dan Presiden Sukarno pada tanggal 29 Oktober 1945 yang disebut:
“Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
Namun yang terpenting dari semua rangkaian peristiwa itu, bahwa penyebab dari segala malapetaka tersebut adalah adanya pamflet tertanggal 27 Oktober 1945, yang melanggar kesepakatan antara Inggris dan Indonesia sehari sebelumnya, yaitu 26 Oktober 1945. Hal inilah yang harus disadari dan diakui oleh Inggris.
Bahwa telah terjadi pembantaian sadis yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia terhadap para bekas interniran Belanda di Surabaya –ataupun di kota-kota lain di Indonesia- tidak perlu dipungkiri. Alasan bahwa situasi pada saat itu kacau dan tak terkendali serta sebagai tindakan balas dendam, tidak dapat dipakai sebagai pembenaran terhadap pelanggaran HAM. Untuk itu, pimpinan pemerintah Republik Indonesia juga harus meminta maaf.
Di lain pihak, melihat keganasan pemboman yang mengakibatkan tewasnya ribuan penduduk sipil, perlu dipertanyakan, apakah tuduhan Panglima Tentara Inggris, yaitu “crimes against civilisation” seimbang dengan tindakan yang harus dikategorikan sebagai “crimes against humanity.” Jadi yang perlu dipermasalahkan bukan hanya legitimasi Inggris untuk melakukan pemboman saja, melainkan seharusnya Inggris bertanggung jawab untuk segala akibat pemboman tersebut; terlepas dari alasan Inggris untuk melakukan pemboman, karena -dengan sedikit mengutip formulasi Mansergh- “crimes against humanity cannot go unpunished.”
Segala upaya yang ditempuh Belanda dengan bantuan Inggris dan Australia untuk kembali berkuasa di Indonesia, ternyata tidak berhasil. Kekuatan militer yang dikerahkan, yang mengakibatkan tewasnya ratusan ribu rakyat di seluruh Indonesia, juga ribuan tentara Belanda dan Inggris, hancurnya bangunan di kota-kota serta berbagai sarana dan prasarana infrastruktur di seluruh Indonesia, tidak dapat mematahkan semangat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Jarum jam sejarah tidak dapat diputar balik. Perang kolonial yang berlangsung dari tahun 1945 – 1949, hanya memperlambat proses pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Republik Indonesia.
Terlepas dari segala pertengkaran antara Inggris dan Belanda, pada kenyataannya sejarah telah mencatat, bahwa Inggris –dan Australia- telah membantu Belanda untuk dapat berkuasa kembali, walaupun kemudian gagal untuk berkuasa seperti sebelum invasi tentara Jepang ke Indonesia bulan Maret 1942. Meelhuijsen menyimpulkan dalam satu kalimat:[37]
“Toch hebben de Nederlanders aan de Britse troepen erg veel te danken gehad.” (Namun Belanda sangat banyak berterima kasih kepada tentara Inggris).
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda “menyerahkan” kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan setelah RIS dibubarkan dan menjadi Republik Indonesia, yang kemudian juga menjadi anggota PBB. Dengan demikian dapat dikatakan di sini, bahwa
- apabila Belanda tidak berusaha untuk kembali menjadi penjajah di Indonesia,
- apabila Inggris tidak menyalahgunakan wewenang tugas Allied Forces untuk membantu Belanda, dan berpegang pada Atlantic Charter, Charter for Peace, Preambel PBB serta Pasal 1 & 2 Anggaran Dasar PBB yang telah mereka tandatangani,
tidak perlu jatuh korban sekian banyak baik di pihak Indonesia, maupun di pihak Belanda serta tentara Inggris yang membantu Belanda. Memang sangat menyedihkan untuk mengatakan, bahwa mereka semua seharusnya tidak perlu terbunuh. Mungkin inilah hikmah yang dapat diambil, bahwa tindak kekerasan itu tidak ada gunanya dan hanya membawa kesengsaraan bagi semua. Dan yang terpenting bagi generasi selanjutnya, bukan saja bagi bangsa Indonesia, melainkan bagi bangsa-bangsa yang terlibat dalam pertempuran di Surabaya November 1945, untuk melakukan segala upaya, agar tragedi kemanusiaan seperti yang telah terjadi di Surabaya, tidak terulang kembali.
Referensi[38]
1. Dr. H. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
2. Profesor Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
3. Holk H. Dengel, Die deutschen Marinestützpunkte Jakarta und Surabaya 1943 – 1945, Risalah.
4. Drs. Soejitno Hardjosoediro, Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, dalam: Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan, jilid VII, diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI, Jakarta, 1999, hlm. 156 – 157.
5. Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Anak Bangsa Dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, (Naskah).
6. Prof. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
7. Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
8. Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000.
9. Komisaris Jenderal Pol.(Purn.) DR. H. Moehammad Jasin, Singa Pejuang RI, PPKBI, Jakarta, 2001.
10. Jenderal TNI DR. A.H. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Mega Bookstore, Jakarta, 1966.
11. Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau bertempur, jilid 2. Penerbit Angkasa, Bandung, 1977.
12. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, jilid 11, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979.
13. J.G.A. Parrot, Who Killed Brigadier Mallaby?, Cornell University, USA, 1976.
14. R. Kadim Prawirodirdjo, Dongengan ’45. Dari Panggung Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. (Naskah)
15. Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996.
16. Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
17. Suwarni Salyo, SH, Serangan terhadap Surabaya 10 November 1945. Upaya menegakkan kembali penjajahan yang mengorbankan rakyat Surabaya, Makalah dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS), bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Lemhannas, Jakarta, tanggal 27 Oktober 2000.
18. Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan Setiadijaya, 10 November ’45. Gelora Kepahlawanan Indonesia, Yayasan Dwi Warna, Jakarta, 1991.
19. Mayor Jenderal TNI (Purn.) T.B. Simatupang, Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1954.
20. Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, Grasindo, Jakarta, 1994. [Buku ini ditulis a.l. berdasarkan catatan-catatan alm. Mayjen TNI (Purn.) Sungkono].
21. Ny. Hj. Lukitaningsih Irsan Radjamin – Soepandhan (Pemrakasra), Peristiwa 10 November 1945 Dalam Lukisan, PT Enka Parahyangan, Jakarta, 1988.
22. Kolonel TNI (Purn.) Soepardijo, Mengais Hikmah Dari Seputar Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Makalah dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
23. Imam Soetrisno Trisnaningprodjo, Geger Suroboyo, dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Beta, Yapeta, Jakarta, 1999.
24. Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 – 3,
Jakarta 1963.
25. Letnan Kolonel Inf. (Purn.) Suroso, di majalah Gema, No. 123, November 1993.
26. Charles Wolf, Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
27. Yong Mun Cheong, H.J.van Mook and Indonesian Independence. A study of his role in Dutch – Indonesian Relations, 1945 – 1948, Marinus Nijhoff, Den Haag, 1982.
28. Herwig Zahorka, Arca Domas – ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien, Bogor, September 2000.
29. Sejumlah wawancara dengan para pelaku sejarah/pertempuran 28 - 30 Oktober dan 10 November 1945, serta masukan, keterangan, buku dan informasi, antara lain dari:
¨ Komisari Jenderal Pol.(Purn.) DR. H.Moehammad Jasin,
¨ Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. W. Hutagalung,
¨ Mayor Jenderal TNI (Purn.) Jono Hatmodjo,
¨ Mayor Jenderal TNI (Purn.) R. Soebiantoro,
¨ Mayor Jenderal TNI (Purn.) E.W.P. Tambunan,
¨ Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan Setiadijaya,
¨ Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Soecipto Kertodjodjo (Ketua PEPABRI JaTim),
¨ Kolonel TNI (Purn.) R. Kadim Prawirodirdjo (Di tahun enampuluhan telah mewawancarai lebih dari 3.000 pelaku sejarah/pejuang Surabaya 1945),
¨ Letnan Jenderal TNI (Purn.) Himawan Sutanto.
¨ Ny.Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin – Supandhan.
¨ Pamoe Rahardjo (Ketua Umum Yayasan Pembela Tanah Air – YAPETA).
¨ Prof. Dr. Subroto,
¨ Georg Eschle, Commander Senior Grade, Atase Pertahanan Republik Federal Jerman di Jakarta.
¨ Suyatno Yosodipoero
¨ Agus Amar, DHD ’45, Jakarta.
¨ Gunanto Martodipoero, LEMHANNAS.
¨ Dra. Irna H.N.Hadi Suwito
30. Beberapa catatan alm. Mayor Jenderal TNI (Purn.) Sungkono. Diberikan oleh
Ny. Isbandiah Sungkono.
Istilah Asing dan Singkatan
ABDACOM - American, British, Dutch, Australian Command
ADC - aide-de-camp (perwira pembantu)
AFNEI - Allied Forces in the Netherlands East Indies (Tentara Sekutu di
Hindia Belanda)
ANETA - Algemene Nieuws- en Telegraafagentschap
APRA - Angkatan Perang Ratu Adil
BFO - Bijeenkomst voor Federaale Overleg (Musyawarah Negara-Negara
Federal)
BKR - Badan Keamanan Rakyat
Blitzkrieg - Perang/serangan secara kilat.
BPM - Bataafse Petroleum Maatschapij (Perusahaan Minyak Belanda)
BPKKP - Badan Penolong Keluarga Korban Perang
BPUPKI - Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Butai - Garnisun
CAA - Civil Affairs Agreement (Kesepakatan Urusan Sipil – Perjanjian
Belanda dengan Inggris)
CSI - Central Sarekat Islam
Chudan - Kompi
Chudancho - Komandan Kompi
Daidan - Batalyon
Daidancho - Komandan batalyon
Dai Nippon - Kekaisaran Jepang
Domei - Kantor Berita Jepang
ERP - European Recovery Programme (Program Pemulihan Ekonomi
Eropa) = Marshall Plan.
GM - Gubernur Militer
Gunseikan - Kepala Pemerintahan Militer
Gunseikanbu - Kantor Pemerintahan Militer
Gyugun - Pasukan sukarela (di Sumatera)
Heiho - Pasukan pembantu (di Jawa)
HAM - Hak Asasi Manusia
HVA - Handelsvereeniging Amsterdam (Perkumpulan Dagang Amsterdam)
IEV - Indo Europees Verbond (Perkumpulan Indo Eropa)
Internatio - Internationale Handels en Crediet Handelsvereeniging Rotterdam
ISDP - Indische Sociaal Democratische Partij (Partai Sosial Demokrat
Hindia)
Kaigun - Angkatan Laut Jepang
Keibodan - Barisan Siaga (Pertahanan Sipil)
Kempeitai - Polisi Militer Jepang
Kidobutai - Pasukan berlapis baja
KL - Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Kerajaa)
KM - Koninklijke Marine (Angkatan Laut Belanda)
KMB - Konferensi Meja Bundar
KNID - Komite Nasional Indonesia-Daerah
KNIL - Koninklijk Nederlands Indische Leger (AD Kerajaan Hindia Belanda)
KNIP - Komite Nasional Indonesia Pusat
KPM - Koninklijke Paketvaart Maatschapij (Perusahaan Pelayaran Belanda)
KRIS - Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi
KTN - Komisi Tiga Negara
MBKD - Markas Besar Komando Jawa (ejaan lama:Djawa)
MBKS - Markas besar Komando Sumatera
MPR - Majelis Permusyawaratan Rakyat
NEFIS - Netherlands Eastern Forces Intelligence Service (Dinas Rahasia
Tentara Belanda di Timur)
NIAS - Nederlands-Indische Artsenschool (Sekolah Dokter di Surabaya)
NICA - Netherlands Indies Civil Administration (Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda)
PEPOLIT - Pendidikan Politik Tentara (Kementerian Pertahanan)
Pesindo - Pemuda Sosialis Indonesia
PKI - Partai Komunis Indonesia
PNI - Partai Nasional Indonesia
Peta - Pembela Tanah Air
PP - Persatuan Perjuangan
PPKI - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PSI - Partai Sosialis Indonesia
PSII - Partai Sarikat Islam Indonesia
RAPWI - Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (Pemulihan
Tahanan dan Interniran Perang Sekutu)
RMS - Republik Maluku Selatan
Rikugun - Angkatan Darat Jepang
Romusha - Pekerja paksa
SEAC - South East Asia Command (Komando Asia Tenggara)
Seinendan - Korps Pemuda
Shodan - Peleton
Shodancho - Komandan peleton
STC - Sub Teritorium Comando
STOP - Staf Operatif
STOVIA - School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah untuk
Pendidikan Dokter Pribumi)
SWPAC - South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik
Baratdaya
Syu - Karesidenan
TKR - Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian menjadi Tentara Keamanan
Rakyat
Tokubetsu
Keisatsu Tai - Kesatuan Polisi Istimewa (Karesidenan Surabaya)
Truce - Gencatan senjata
UNCI - United Nations Commission for Indonesia (Komisi PBB untuk
(Indonesia)
Volksraad - Dewan Rakyat
Vernichtung - Pemusnahan
Wehrkreis - Wilayah Pertahanan
Wingate - Operasi militer untuk masuk ke belakang garis pertahanan musuh.
Berasal dari nama seorang perwira Inggris dalam operasi militer di
Birma.
[1] Nasution, op cit., hlm. 18–19. Lihat juga Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, Rakyat Jawa Timur Mempertahankan
Kemerdekaan, PT Grasindo, Jakarta, 1994, hlm. 129.
[2] Nasution, ibid., hlm. 175.
[3] Suwarni Salyo, SH, Serangan terhadap Surabaya 10 November 1945” Upaya Menegakkan Kembali
Penjajahan Yang Mengorbankan Rakyat Surabaya. Makalah dalam Seminar Internasional “The Battle of
Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, diselenggarakan di Lemhannas, Jakarta,
27 Oktober 2000.
[4] Nasution, ibid., hlm. 192.
[5] Ibid., hlm. 196.
[6] Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996, hlm. 225.
[7] Nasution, ibid., hlm. 5.
[8] Web site: www.UN.org
[9] Teks lengkap Pasal 1 dan Pasal 2, lihat lampiran.
[10] Reid, ibid., hlm. 179.
[11] Anderson, ibid., hlm. 335.
[12] Ibid., hlm., 363.
[13] van der Post, ibid., hlm. 225.
[14] Nasution, ibid. hlm. 401.
[15] Van der Post, ibid., hlm. 160.
[16] Ibid., hlm. 172.
[17] Ibid., hlm. 271.
[18] Ibid., hlm. 278.
[19] Subarjo, ibid., hlm. 414 – 415.
[20] Subarjo, loc.cit.
[21] Subarjo, ibid., hlm. 417.
[22] Van der Post, ibid., hlm. 227.
[23] Ibid., hlm. 236 dan 240.
[24] Ibid., hlm. 185.
[25] Ibid., hlm. 186.
[26] Ibid., hlm. 184 dan 202.
[27] Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan, jilid VII, diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI,
Jakarta, 1999, hlm. 156 – 157. Dikutip dari tulisan Drs. Soejitno Hardjosoediro, Dari Proklamasi ke Perang
Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1987.
[28] Reid, ibid., hlm.186.
[29] Wiliater Hutagalung,, op.cit., hlm. 32.
[30] Anderson, ibid., hlm. 417 – 420.
[31] Reid, ibid., hlm. 182.
[32] Ibid. hlm. 162.
[33] Van der Post, ibid., hlm. 268.
[34] Ibid., hlm. 171.
[35] Ibid., hlm. 173.
[36] Nasution, ibid , jilid 11, hlm. 175 – 192.
[37] Meelhuijsen, ibid., hlm. 31.
[38] Nama pengarang serta judul buku ditulis sesuai aslinya, menggunakan ejaan lama.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home