Bab Empat. Divisi 5 Mendarat. Ultimatum Inggris, 9 November 1945
Divisi 5 Mendarat. Ultimatum Inggris 9 November 1945Pada tanggal 31 Oktober 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison mengeluarkan pernyataan dengan nada ancaman yang sangat keras:
Warning to Indonesia!
On 28 th October a large number of armed Indonesians in Surabaya attacked without warning or provocation British forces, which had landed there peacefully for the purpose of disarming and concentrating the Japanese forces, of bringing relief to prisoners of war and internees, and of maintaining law and order in the area occupied by them.
Subsequently these Indonesians broke the truce which had been agreed in the presence of Dr. Sukarno and Mohammad Hatta, and foully murdered Brigadier Mallaby, who had to parley with them.
These direct and unprovoked attacks upon British cannot in any circumstances be permitted, and unless the Indonesians who have committed the acts surrender to my forces, I intend to bring the whole weight of my sea, land and air force and all weapons of modern war against them untill they are crushed.
If in this process, Indonesian should be killed or wounded, the sole responsibility will rest with those Indonesians who have committed the crimes I have named.
I warn all Indonesians throughout Java that they should have nothing to do with extremist elements and that they should cooperate with my forces and live in peace and harmony with them. For if forces used against my troops it will be met with force. I am determined to maintain law and order, and I look to all good Indonesians to support me in this task.”
Setelah Panglima Besar Sekutu minta pertanggungjawaban Indonesia atas peristiwa Mallaby, maka pada tanggal 31 Oktober 1945 pukul 21.30 Presiden Sukarno berpidato mengeluarkan keterangan resmi yang terkenal, yang didengarkan di mana-mana, antara lain sebagai berikut [1]:
“ ….. Saudara-saudara sudah mengetahui apa yang telah terjadi di Surabaya. Telah terjadi pertempuran antara fihak kita dan fihak Sekutu. Sebelum kerjadian itu, maka kita ketahui, bahwa Surabaya merupakan satu pusat kekuatan nasional kita. Kita ketahui, bahwa di sana TKR (Tentara Keamanan Rakyat) tersusun dengan baik. Bahwa pemuda dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh. Oleh sebab kurang baik memakai kekuatan itu, dengan tidak didasarkan atas siasat bekerja bersama-sama dengan bagian di Indonesia lain dan tidak berdasarkan siasat perjuangan yang bersifat perjuangan lama, maka kini timbul keadaan yang melemahkan kekuatan di Surabaya dan di Indonesia.
Berdasarkan atas pertimbangan di atas, maka saya telah memerintahkan, supaya segala pertempuran melawan Sekutu dihentikan, bukan saja di Surabaya, tapi pun juga di Magelang.
Tidak ada sebab yang syah bagi kita pada masa ini untuk memerangi fihak Sekutu. Sekutu tidak datang ke mari untuk berperang dengan bangsa Indonesia. Mereka hanya melakukan pekerjaan memperlucuti senjata tentara Jepang dan mengirim Jepang kembali; seterusnya mereka mengurus tawanan perang, serta menjaga keamanan umum di dalam daerah yang diduduki oleh mereka itu. Sudah barang tentu mungkin timbul perselisihan atau salah faham antara kita dan Sekutu di dalam beberapa hal yang kecil-kecil, tetapi hal yang demikian belum menjadi alasan untuk bertempur dengan Sekutu. Malahan dapat dikatakan, bahwa justru di dalam hal yang demikian itu kita mesti mencari penyelesaian. Segala salah faham dengan bekerja bersama rapat dengan fihak sekutu.
Pun beberapa kejadian di Surabaya merugikan nama kita di dunia internasional. Bahwa dari fihak kita masih ada juga yang melepaskan tembakan sesudah diumumkan perletakan senjata pada tanggal 29 Oktober 1945 yang lalu adalah juga merugikan kita. Pun di dalam hal itu kita dapat mngerti sebab-sebabnya, tetapi walaupun demikian, nama kita di luar negeri dapat dibahayakan, nama kita di luar negeri merosot.
Sebab, satu hal saudara-saudara mesti diperhatikan, walaupun pemerintahan sentral jauh, segala hal kekejaman, segala pertempuran, tetap jadi tanggungan pemerintah sentral. Tidak dapat kami tolak tanggung jawab itu. Di dalam negeri yang teratur, segala hal yang demikian itu mesti dipikil oleh pemerintah, dan di dalam hal kita inipun oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berat rasanya tanggungan ini dirasakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Saudara mengetahui bahwa sebutir kecil racun arsenicum sudah cukup merusak segala air. Sebutir kecil itu terus meracuni air itu. Demikianpun di dalam negara. Satu aliran yang salah, dapat merusak seluruh bangunan negara.
Sampai ke mana kerusuhan dapat membawa kita ini, dapat saudara saksikan sendiri. Sesudah dapat persetujuan di Surabaya yang memuaskan kedua belah fihak, maka masih terjadi satu yang sangat menyedihkan kami. Sebab pada malam 30 Oktober yang lalu, sesudah kami meninggalkan Surabaya dengan hati yang tenang, dan sesudah pula wakil-wakil rakyat Surabaya bekerja keras untuk memperhatikan pertempuran, maka panglima tentara Inggris di Surabaya terbunuh mati di dalam kerusuhan.
Dengan demikian orang-orang Indonesia itu telah melanggar perjanjian perletakan senjata buat sementara, yang disetujui di depan Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta dan dengan sewenang-wenang telah membunuh Brigadir Mallaby, yang pergi untuk berbicara dengan mereka.
Penyerangan langsung dan tidak bersebab terhadap pasukan-pasukan Inggris bagaimanapun juga tidak dibolehkan dan sekiranya orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan tersebut tidak menyerah kepada pasukan saya, saya berniat akan mempergunakan segala tenaga dari angkatan laut, darat dan udara beserta segala senjata modern terhadap mereka sampai mereka hancur.
Kalau sekiranya dalam tindakan ini orang-orang Indonesia yang tidak bersalah meninggal atau luka, maka tanggung jawab dipakailah oleh orang-orang Indonesia tersebut yang telah melakukan kejahatan-kejahatan seperti saya katakan tadi.
Saya peringatkan segala bangsa Indonesia di seluruh Jawa, supaya mereka jangan bersangkut-paut dengan golongan ekstremis dan supaya bekerja bersama-sama dengan tentara saya dan hidup damai dan tenteram dengan mereka. Karena jikalau kekerasan dipergunakan terhadap tentara saya, maka jawabnya ialah kekerasan pula. Saya berniat teguh menjamin keamanan dan ketentraman dan berharap pada orang-orang Indonesia yang baik untuk membantu saya.
Dalam keadaan dan saat sekarang hanya satu jalan yang patut kita tempuh.
Sekutu bukan musuh kita. NICA, NICA yang menentang kemerdekaan. Dengan Sekutu dapat kita bekerja bersama-sama menanggung keamanan (Peace and order). Dengan perundingan, dengan cara permufakatan, dapat kita selesaikan soal-soal yang timbul.
Dengan bekerja bersama-sama dengan Sekutu, dapat kita mencapai tujuan kita.
Sekali lagi, saya memerintahkan, supaya semua pertempuran dengan Sekutu diperhentikan !
Jalankanlah perintah saya itu.
Merdeka!
Setelah Christison mengeluarkan ancamannya, dalam waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat besar. Pada tanggal 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta, tiba di Surabaya dengan HMS Sussex mendaratkan 1.500 Marinir. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia, tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara[2] secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby. Rincian pasukan Divisi 5:[3]
4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment.
(artileri)
17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadier R.G. Loder-Symonds. Pesawat yang
ditumpanginya tertembak tanggal 10 November 1945. L.-Symonds tewas
tanggal 11.11.’45 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta).
9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadier H.G.L. Brain)
123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadier E.J. Denholm Young)
161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadier E.H.W. Grimshaw)
Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 buah pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.[4]
Sebagai reaksi atas ancaman Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Presiden Sukarno menugaskan Menteri Penerangan, Mr. Amir Syarifuddin Harahap ke Surabaya untuk meneliti kebenaran tuduhan Inggris tersebut.
Kolonel dr. W. Hutagalung, yang ditunjuk sebagai Liaison Officer (pada waktu itu lazim disebut Kepala Penerangan) Divisi Surabaya, ditugaskan segera berangkat ke Jakarta, guna melaporkan keadaan di Surabaya serta membawa surat dari Dul Arnowo untuk Presiden Sukarno. Hutagalung ke Jakarta naik kereta api didampingi ajudan, Mayor Susilo, dan kebetulan bersama-sama Mr. Amir Syarifuddin Harahap. Tanggal 8 November 1945, Hutagalung diterima Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di Pegangsaan Timur. Setelah membaca dan berunding, Dr. Hutagalung diberitahukan agar bersama-sama berangkat ke Yogyakarta pada 9 November 1945, karena Bung Karno akan menghadiri Kongres Pemuda seluruh Indonesia yang pertama, yang akan dibuka pada tanggal 10 November 1945.
Amir Syarifuddin menyampaikan hasil penyelidikannya kepada Presiden Sukarno sebagai berikut :
1. Tidak benar tuduhan Inggris bahwa yang telah membunuh Brigadir Mallaby itu pasti fihak Indonesia.
Dari hasil penyelidikan yang teliti, meninggalnya beliau itu tidak pasti dilakukan oleh fihak Indonesia.
2. Yang dapat dipastikan sekarang ialah bahwa pada mobil yang dinaiki Brigadir Mallaby itu telah timbul peledakan dan ini disebabkan oleh adanya alat-ledakan. Seorang dari angkatan laut yang berdekatan dengan mobil itu telah mendapat luka-luka dan diangkut ke rumah sakit oleh pemimpin-pemimpin kita.
Setelah mendapat laporan ini, Presiden Sukarno sendiri mengirim kawat kepada Fenner Brockway, seorang anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh pada 9 November 1945 sebagai berikut[5] :
Mr. Fenner Brockway, Independent Labour Party, London.
Kami bergirang hati mendengar kabar, bahwa tanggal 12 Nopember ini akan diadakan rapat besar yang akan membicarakan masalah Indonesia, di bawah pimpinan India League.
Ini terang menunjukkan kepada kami, bahwa pikiran umum ini di tanah Inggris semakin besar terhadap perjuangan kami yang syah untuk merebut kemerdekaan. Sebelum diadakan rapat itu, kami merasa hak dan kewajiban kami akan memberi keterangan yang perlu tentang kejadian di Surabaya, yang menyebabkan timbulnya perbenturan dengan tentara Inggris. Kami harap dengan mendapat keterangan selengkapnya, tentulah rapat akan dapat mengeluarkan keputusan yang bijaksana, bahwa turut campur dengan bersenjata itu tidak berhasil sama sekali.
Keterangannya sebagai berikut diterima tanggal 2 Nopember dari Dul Arnowo, ketua kontak-biro di Surabaya :
“Menurut perjanjian antara Ir. Sukarno dengan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn tanggal 30 Oktober diadakan kontak-biro yang terdiri dari wakil-wakil dua fihak. Tentara Serikat, di antaranya alm. Brigadir Mallaby dan wakil-wakil Indonesia, pada rapat yang pertama dari kontak-biro tanggal 30 Oktober diputuskan akan menghentikan penembakan dari kedua fihaknya. Ini dapat dijalankan dengan menyiarkan hasil perundingan antara Ir. Sukarno dan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn. Tambahan lagi semua anggota kontak-biro harus pergi ke tempat-tempat rakyat berkumpul, untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya dan menentramkan perasaan mereka dan menghentikan penembakan. Salah satu tempat itu ialah gedung Internasio, dekat Jembatan Merah. Kami sampai di sana pukul 16.30, dalam tujuh mobil yang di depan sekali mengibarkan bendera putih. Kami memberi penerangan kepada rakyat dan di antaranya serdadu-serdadu Gurkha akan diangkut besok pagi ke Tanjung Perak. Rakyat dengan senang hati bubar.
Di tengah jalan ke tempat lain kami ditahan oleh khalayak yang menuntut supaya serdadu Gurkha harus selekasnya diangkut dan senjata mereka harus ditinggalkannya, di bawah pengawasan Tentara Keamanan Rakyat, sebab rakyat merasa terancam oleh penembakan Gurkha. Anggota Kontak-Biro Mohammad pergi bersama mereka untuk menjaganya.
Melihat Kapten Shaw masuk sendiri, rakyat berteriak menyusul tuan Kundan dan Mohammad lekas masuk. Tidak lama kemudian tuan Kundan keluar akan menyatakan kepada rakyat, bahwa perkara ini akan selesai dalam lima menit. Ini terjadi pukul 18.00 maghrib.
Kemudian tiba-tiba serdadu Gurkha dari Gedung Internasio mulai menembaki rakyat yang sedang berkumpul di pelataran gedung itu, di antaranya para anggota kontak-biro, dan juga Brigadir Mallaby almarhum.
Lalu terjadilah kegemparan dan tiap-tiap orang mencari tempat berlindung, tak sempat lagi memikirkan nasib orang lain. Penembakan ini masih terus sampai larut malam. Beberapa anggota kontak-biro dapat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke pinggir kali.
Sampai sekarang belum ada kepastian, tentang sebab wafatnya Mallaby. Jika sungguh ditembak seperti kabar angin yang pecah di mana-mana, sekarang belum diketahui, apakah oleh orang Indonesia, atau orang Gurkha, atau oleh fihak lain. Yang pasti sewaktu terjadi kegemparan, Mallaby tidak dijumpai, perlu diperhatikan, bahwa anggota-anggota kontak-biro yang lain diancam bahaya penembakan pula. Pemeriksaan lebih jauh menerangkan, bahwa auto yang dikendarai Brigadir Mallaby rusak oleh letusan sebuah peluru. Opsir laut yang berdiri dekat itu juga luka oleh letusan itu dan diangkut ke rumah sakit oleh pemimpin-pemimpin nasionalis.
Pemeriksaan ini dilanjutkan”.
Sukarno,
Presiden Republik Indonesia
Segala upaya untuk mencegah niat tentara Inggris menghancurkan Surabaya tidak berhasil, karena tampaknya pihak Inggris telah bertekad untuk membalas kematian seorang jenderalnya, dan sekaligus menghancurkan kekuatan militer Indonesia, yang menjadi penghalang kembalinya penjajah Belanda.
Setelah tiba di Surabaya, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh segera mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia di Surabaya. Pada pertemuan tersebut dia membacakan surat yang kemudian diterjemahkan oleh Kundan. Isi surat tersebut[6]:
1. Nama saya adalah Mayor Jenderal R.C. Mansergh OBE, MC.
Saya adalah Komandan Tentara Sekutu Jawa Timur, dan mewakili Panglima Tentara Sekutu Hindia-Belanda.
2. Kehadiran saya di sini adalah untuk :
a. mengungsikan tahanan-tahanan perang Sekutu dan kaum interniran Sekutu atau warga negara lain yang ingin pulang ke negerinya seperti Swiss, India dan lain-lain;
b. melucuti senjata orang-orang Jepang dan mengungsikan mereka.
3. Dunia sepenuhnya menyadari bahwa Sekutu mempunyai kapal-kapal serta organisasi di Surabaya yang diperlukan dan berkeinginan untuk membantu semua orang asing dalam pengungsian tersebut.
Mereka selanjutnya, mengetahui bahwa jika pada orang asing tersebut sampai tidak diizinkan mengungsi dan pulang, maka tanggung jawab sepenuhnya ada pada seluruh bangsa Indonesia.
Saya tahu bahwa ada orang-orang India, Swiss dan lain-lain warga negara yang menginginkan pulang ke negaranya masing-masing. Saya telah siap untuk mengangkut mereka, tetapi orang-orang Indonesialah yang memperlambat soal ini.
4. Juga telah diinsyafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak bertanggung jawab dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok, melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan keganasan yang sangat biadab.
5. Hal ini terjadi, sekalipun di Surabaya sudah ada formasi kepolisian bersenjata di bawah pimpinan Indonesia yang telah diakui oleh Sekutu. Akan tetapi Tuan ternyata tidak dapat menguasainya, Tuan mempunyai sarana, akan tetapi tidak dapat menyelenggarakan ketertiban umum, akan tetapi tidak dapat menyelenggarakan ketertiban umum. Seluruh dunia tahu tentang hal ini dan tahu juga tentang tindakan-tindakan keganasan yang telah dilakukan.
6. Saya perlu memberitahukan kepada Tuan, bahwa semua itu merupakan tanggung jawab Tuan, beserta anak buah Tuan, yaitu menyelenggarakan ketertiban umum, pula bahwa segala jaminan dan janji Tuan benar-benar harus dilaksanakan.
Dalam hubungan ini telah disetujui, bahwa beberapa daerah kota Surabaya akan digunakan hanya oleh Tentara Sekutu atau oleh pihak Indonesia, dengan tujuan menghindari pertempuran-pertempuran. Pihak Tuan telah melanggar janjinya. Pada waktu ini tank-tank dan tentara Indonesia telah berada di lapangan udara dan mengambil posisi. (Yang dimaksud di sini adalah lapangan terbang Morokrembangan). Sesuai dengan janji Tuan, maka tank-tank dan tentara itu harus ditarik mundur hari ini.
Saya akan mengambil alih tanggung jawab di daerah lapangan terbang itu dan akan mendudukinya hari ini dimulai pada pukul 14.00. Adapun akan menjadi tanggung jawab Tuan, jika terjadi insiden-insiden.
7. Wakil-wakil Tuan berkali-kali telah menjanjikan untuk menjamin kembalinya semua yang luka-luka dari tentara Sekutu, tahanan-tahanan, peralatan, truk-truk dan sebagainya.
Sampai sekarang janji-janji itu lambat pelaksanaanya dan banyak hal lain yang sama sekali diabaikan. Saya hendak menekankan bahwa semua kegagalan Tuan itu saya anggap karena Tuan jelas-jelas tidak mampu atau tidak mau memenuhi perjanjian-perjanjian dan jaminan-jaminan yang telah disepakati; dan bahwa Sekutu beserta seluruh dunia telah mengetahui tentang kegagalan Tuan itu.
8. Saya sekarang minta supaya diatur lebih lanjut mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan supaya semua tentara Sekutu yang luka-luka dan hilang, truk-truk, peralatan dan sebagainya dengan segera dikembalikan.”.
Demikianlah isi surat Jenderal Mansergh dibacakan sendiri di hadapan pimpinan Pemerintah RI di Surabaya. Surat ini bernomor G-5 12-1, semula ditik tertanggal 3 November 1945. Selesai membaca surat tersebut dan kemudian diterjemahkan oleh Kundan, dia duduk kembali. Banyak benar kebohongan dari surat itu, dan angkuh sekali sikap Jenderal Mansergh ini. Semua orang Indonesia yang hadir tercengang!
Tuduhan Mansergh tentu tidak diterima oleh pimpinan Republik Indonesia di Surabaya. Sebagai jawaban atas pernyataan Mansergh tersebut, Gubernur Suryo menulis surat kepada Mansergh[7]:
The GOVERNOR
of East Java
9th November 1945
No. 1-KBK
Major General
R.C. Mansergh
Commander Allied Landforces
East Java, Sourabaya.
Sir,
I have for acknowledgment your 2 letters, the first dated 7th November 1945, No. G-512-1, addressed to the Governor of East Java, and the second, dated 8th November 1945, No. G-512-5, addressed to Mr. R.M.T.A. Soerio, who incidentally, I may tell you, is the Governor of East Java; and I think and must kindly request you to please address all official correspondence to me with more decorum. I expect it from you as representative of the Commander-in-Chief of the Allied Forces to conduct all personal meetings in a more friendly and unbiased attitude of mind. I shall be more obliged if you will kindly realize that you are in East charged with a solemn and sacred duty, until you meet me in a more sincere and friendly spirit, all further communications between us must, by virtue of your attitude, be conducted by letters.
1. In connection with clause 1 of your last letter, I have the honor to inform you that we are continuing with all our efforts to fulfill our part of the agreement.
2. Regarding clause 2 of your last letter, your version of the state of afairs in Soerabaya is not correct. After the lapse of 24 hours of the agreement arrived at between General D.C. hawthorn and H.E. Dr. Soekarno, the President of the Indonesian Republic on the 30th ultimo, up till the present moment peace and order have prevailed in Soerabaya, and if you can kindly point out to any unpleasant incident since, I shall be glad to go into such matter immediately.
3. Concerning the delay in transferring nationals from individual areas to Tanjungperak, I may point out that it is not caused by any other reason except by the personal hesitating attitude and lack of proper preparations by individual nationals.
4. I may bring to your kind notice that Major-General Hawthorn never uses the words “Netherlands East Indies”, but uses the words “Java, Madoera, Bali and Lombok”.
5. As far as I know the normal conditions of law, order and peace do prevail in Soerabaya at the present moment.
6. Regarding the sixth clause mentioned in your letter I am anxious to know the necessity for the Allied Forces to enter the town and neighborhood of Soerabaya and other areas in East Java when in the agreement concluded between Major-General Hawthorn and President Dr. Soekarno, in clause 2 it is clearly mentioned that only two place i.e. Darmo and Tanjungperak will be guarded by the Allied Forces and that as soon as the interness and the RAPWI people are withdrawn from Darmo, the forces would also move to Tanjungperak. The question of your forces entering the town of Soerabaya is neither advisable nor conducive to peace and harmony just at the present time, and I would earnestly request you to realize that our task is not so easy as you imagine it to be and Brigadier L.H.O. Pugh and we have been doing to build up a peaceful solution. I have no doubt whatsoever that a sympathetic attitude towards our difficult task coupled with patience will avoid unnecessary misunderstanding on both sides.
7. I sincerely hope, that you will work with us in the spirit of goodwill and friendship realizing our difficulties with vision and foresight, and have no doubt that such harmony, will be conducive to a solution of your difficulties.
I thank you in anticipation,
Yours faithfully
R.M.T.A. Soerio
Governor of East Java.
Terjemahan bahasa Indonesia :
Gubernur Jawa Timur
9 November 1945
No. 1-KBK
Jeneral Mayor
R.C. Mansergh
Komandan Angkatan Darat Sekutu
Jawa Timur, Surabaya.
Tuan,
Saya telah menerima 2 surat dari tuan, pertama tertanggal 7 November 1945, No. G-512-1 dialamatkan kepada Gubernur Jawa Timur, dan kedua tertanggal 8 November 1945, No. G-512-G dialamatkan kepada Tuan R.M.T.A. Soerio, yang kebetulan, dan ini perlu saya ceritakan kepada tuan, adalah Gubernur Jawa Timur; dan saya pikir dan harus meminta dengan hormat kepada tuan untuk mengalamatkan semua korespondesi resmi kepada saya dengan lebih tata-hormat. Saya mengharapkan demikian dari tuan sebagai wakil dari Panglima Tertinggi dari Tentara Sekutu untuk menjalankan semua pertemuan pribadi dalam suasana persahabatan dan tanpa prasangka. Saya akan lebih berterima kasih apabila tuan menyadari bahwa tuan berada di dunia Timur dengan suatu tugas kewajiban suci dan keramat; dan sampai pada sa’at tuan bersedia bertemu dengan saya dalam suasana yang lebih sungguh-sungguh dan persahabatan, maka semua komunikasi antara tuan dan saya mulai sekarang harus dilakukan dengan surat menyurat; ini disebabkan karena sikap tuan sendiri.
1. Mengenai butir 1 dari surat tuan saya dengan hormat memberi tahu bahwa kita sedang melanjutkan usaha kita untuk melaksanakan apa yang menjadi bagian kita sesuai dengan persetujuan.
2. Tentang butir 2 dari surat tuan yang terakhir, maka versi tuan tentang keadaan situasi kota Surabaya adalah tidak benar, 24 jam setelah perjanjian antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno pada tanggal 30 Oktober sampai sekarang ini, maka keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya, dan apabila tuan dapat menunjukkan kepada saya sesuatu insiden yang tidak menyenangkan sejak itu, maka dengan segala senang hati saya akan segera mengurusnya.
3. Tentang keterlambatan pengangkutan orang-orang asing dari daerah-daerah tersendiri ke Tanjungperak, ingin saya kemukakan bahwa kelambatan itu disebabkan hanya karena keragu-raguan dan kurang persiapannya dari orang-orang asing tersebut.
4. Saya ingin meminta perhatian tuan bahwa Mayjen Hawthorn tidak pernah menggunakan istilah “Hindia-Belanda” dalam surat-suratnya, tetapi kata : “Jawa, Madura, Bali dan Lombok”.
5. Sepanjang pengetahuan saya maka kondisi-kondisi normal di bidang hukum, keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya pada saat ini.
6. Tentang punt 6 dari surat tuan, saya ingin mengetahui keharusan Tentara Sekutu untuk memasuki kota Surabaya dan sekitarnya serta daerah-daerah di Jawa Timur, sedangkan di dalam persetujuan antara Mayjen Hawthorn dan Presiden Soekarno punt 2 hanya 2 tempat yang jelas sebagai daerah yang akan dijaga oleh Tentara Sekutu, yaitu daerah Darmo dan Tanjungperak; dan lagipula selekas kaum interniran dan Rapwi dipindah dari Darmo, maka Tentara Sekutu akan mundur juga ke Tanjungperak. Tentara tuan hendaknya jangan mencoba masuk ke dalam kota, karena hal ini tidak akan mempunyai pengaruh baik bagi ketentraman dan ketertiban justru dalam waktu sekarang, dan saya minta dengan sangat hendaknya tuan menyadari bahwa tugas kita adalah tidak semudah seperti tuan perkirakan; dan dengan mendesakkan hal-hal secara sebegitu sekonyong-konyong, tuan akan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun bersama dengan Kolonel Pugh untuk suatu penyelesaian secara damai. Saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa suatu sikap yang simpatik dalam menghadapi tugas kita yang sulit ini digabungkan dengan kesabaran akan menghilangkan kesalah-pahaman dari pihak kita berdua.
7. Saya mengharapkan dengan sungguh-sungguh hendaknya tuan bersedia kerjasama dengan kita dalam suasana berkemauan baik dan persahabatan sambil menyadari kesulitan-kesulitan kita, dengan visi dan pandangan jauh ke depan, dan hendaknya tuan jangan ragu bahwa harmoni yang demikian akan mendorong tercapainya penyelesaian dari kesulitan kita bersama.
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
Hormat saya,
R.M.T.A. SOERIO
Gubernur Jawa Timur
Selesai surat ditik dan ditandatangani, kemudian diserahkan kepada Sudirman, Ruslan Abdulgani dan Kundan untuk disampaikan kepada Mansergh di markasnya di Jalan Jakarta pada tanggal 9 November pukul 11.00 siang. Mansergh mengira Gubernur Suryo sendiri yang akan menghadap dan telah siap menunggu. Karena utusannya saja yang datang, maka Mansergh menyerahkan 2 surat. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut dengan alamat: “Mr. R.M.T.A. Soerio” tertanggal 9 November 1945.
Bunyi ultimatum tersebut adalah :
“November, 9th. 1945.[8]
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.
Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Pamflet berisi ultimatum tersebut disebarkan melalui pesawat udara pada tanggal 9 November pukul 14.00. Mansergh telah menyusun “orders”nya sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia[9], karena alasannya:
“…..kejahatan terhadap peradaban tak dapat dibiarkan tanpa dihukum. Kecuali…..” (…the above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless…).
Yang paling melukai hati bangsa Indonesia, dan jelas tidak akan mungkin untuk dipenuhi adalah butir 2:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.)
Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Selain menyebarkan pamflet, Mansergh juga menulis surat kepada Gubernur Suryo dengan rincian, apa yang dimaksud dengan “senjata.” Surat kepada Gubernur Suryo berbunyi[10]:
Mr. R.M.T.A. SOERIO
1. With regard to my orders for disarming of all Indonesian not entitled to bear arms. I again point out that the only persons authorised to bear arms are the uniformed police and regular T.K.R. These formations will initially only be allowed to retain their rifles and 10 rounds of ammunition. All remaining arms will be laid down in accordance with my orders.
2. I order that you should fully understand what arms and equipment are to be laid down in the places appointed; by the word “arms” I mean :
a. Rifles, shotguns, revolvers, pistols.
b. Spears, knives, swords, kris, sharpened bambous.
c. Blow pipes and poisoned arrows or darts.
d. Hand grenades bombs of all description, petrol and incendiarty bombs.
e. Machine guns of all natures, light automatics.
f. Tanks, armoured cars and any armoured fighting vehicle.
g. Any weapon of equipment of war not covered in the above list.
h. All ammunition for weapons described above.
3. Futher the Regular Armed Police and T.K.R. will proceed about their normal duties in groups of not more than five persons.
Any groups of groups of Armed Police or T.K.R. larger than five persons seen will be considered hostile and attacked.
4. In the even of fighting occuring between the Armed Police and T.K.R. on the one hand and the Allied Forces on the other I hereby warn you that any crowds in the streets or squares will be attacked from the air.
5. You are at liberty to approach my lines at any time during the hours of daylight. You will always approach under the cover of a white flag and will be unarmed.
6. I hold you, and your subordinates, responsible for the carrying out of the orders that have been given to you.
(Signed)
Major-General R.C. Mansergh
Commander, Allied Land Forces,
East Java
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
R.M.T.A. SOERIO
1. Sehubungan dengan perintah saya untuk melucuti semua orang Indonesia yang tidak berwenang memiliki senjata, saya sekali lagi menegaskan bahwa mereka yang boleh memegang senjata adalah Polisi berseragam dan TKR regular. Kedua kelompok ini hanya boleh memiliki apa yang mereka pegang sekarang dan 10 buah amunisi. Lainnya harus diserahkan sesuai perintah saya.
2. Saya perintahkan hendaknya tuan memahami sepenuhnya senjata dan peralatan apa yang harus diserahkan di tempat-tempat yang ditentukan. Dengan kata “senjata” saya maksud :
a. senapan, bedil, pedang, pistol.
b. tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing.
c. tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.
d. granat tangan, bom dari segala macam, petroleum dan bom bakar.
e. mitraliur dari segala macam bentuk, senjata otomatik ringan.
f. tank, mobil baja dan segala kendaraan tempur berlapis baja.
g. semua senjata atau alat perang yang tidak disebut dalam daftar ini.
h. semua jenis amunisi untuk segala macam senjata yang disebut di atas.
3. Selain itu Polisi dan TKR reguler yang bersenjata dapat melanjutkan tugas normal, tapi dalam kelompok yang tidak boleh melebihi lima orang. Setiap kelompok yang melebihi 5 orang, baik kelompok penduduk maupun kelompok Polisi dan TKR akan dianggap sebagai permusuhan dan akan saya serang.
4. Apabila timbul tembak-menembak antara Polisi dan TKR di satu pihak dan Tentara Sekutu di lain pihak, maka setiap massa rakyat di jalan-jalan atau di lapangan-lapangan akan diserang dari udara.
5. Tuan diperkenankan mendekati garis pertahanan saya setiap saat di hari terang. Tuan harus selalu mendekati garis pertahanan saya itu dengan lindungan bendera putih dan tak bersenjata.
6. Saya mempertanggung-jawabkan tuan dan bawahan tuan untuk melaksanakan segala perintah yang saya berikan kepada tuan.
Ttd.
Mayor Jenderal R.C. Mansergh
Komandan Tentara Sekutu Jawa Timur
Di Jakarta pada waktu yang sama, yaitu tanggal 9 November 1945, Panglima Tentara Sekutu untuk Hindia Belanda, Letnan Jenderal Christison mengulang ancamannya kepada seluruh rakyat Indonesia, antara lain sebagai berikut :
“…Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan sekalian tahu, bahwa pada mulanya angkatan tentara Inggris datang dengan damai ke Surabaya dan mereka telah diterima dengan baik oleh orang-orang Indonesia di sana.
Mereka tadinya mengharap akan tinggal sebagai kawan dari orang-orang Indonesia di Surabaya akan tetapi dengan tiba-tiba mereka telah diserang oleh kumpulan-kumpulan orang-orang Indonesia yang tidak teratur. Dan panglima tentara Inggris yang telah berusaha untuk memperhatikan pertempuran dan akan menolong jiwanya orang-orang Indonesia telah dibunuh dengan kejam oleh kaum ekstremis (pemberontak) yang jahat. Perbuatan yang amat jahat ini, adalah bertentangan dengan peri-kesopanan dunia serta pemimpin-pemimpin tinggi bangsa Indonesia.
Angkatan Laut Inggris yang kuat telah didatangkan dari laut dan sekarang telah menduduki Surabaya dan sedang melakukan pekerjaan pembasmian terhadap mereka yang bertanggung jawab dalam kejahatan itu. Di dalam melakukan ini, mereka sama sekali tidak boleh dilawan.
Perintah telah disiarkan kepada orang-orang di Surabaya dalam mana diterangkan apa yang diminta dari mereka. Semua penduduk Surabaya yang menurut perintah harus berusaha untuk menjauhkan dirinya dari mereka yang tidak menurut perintah, yakni kaum pemberontak itu dan hendaklah menunjukkan kejujurannya kepada dunia.
Hal ini, bukanlah sebagai satu penyerangan terhadap kebebasan orang Indonesia. Dan bukanlah sebagai satu percobaan untuk menetapkan kedudukan politik Indonesia pada masa datang, dan tidak bersangkutan dengan lain-lain bagian dari tanah Indonesia.
Ini adalah terhadap kaum ekstremis di Surabaya yang sudah berdosa atas kejahatannya, dan kaum ekstremis (pemberontak) itu sajalah yang mesti dihukum.
Orang-orang Inggris tidak bermusuhan dengan orang-orang Indonesia. Ini hanya terhadap mereka yang menyerang kami atau mereka yang menghalangi kami untuk melakukan pekerjaan yang telah diperintahkan kepada kami oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam permusyawaratan Serikat di Potsdam, yang mana kami akan mengembalikan kekuatan yang cukup yang telah mengalahkan Jerman dan Jepang.
Oleh sebab itu, tenteramlah semua di dalam pekerjaanya masing-masing dan janganlah berbuat apa-apa yang bisa menyebabkan kekacauan dan kecelakaan di kota-kota dan kampung-kampung di seluruh Indonesia.
Oleh sebab itu, janganlah berhubungan dengan kaum ekstremis dan janganlah mendatangkan kekacauan atau kecelakaan terhadap kota-kota atau kampung-kampung di seluruh Indonesia.“
ttd.
P. Christison, Letnan Jenderal
Panglima Tentara Sekutu Seluruh Indonesia
9 November 1945.
Melalui telepon, pimpinan Surabaya menyampaikan adanya ultimatum Inggris, dan meminta pendapat Pemerintah Pusat, langkah apa yang harus dilakukan. Namun Presiden Sukarno beserta sejumlah petinggi pemerintah lain, telah berangkat ke Yogyakarta, untuk menghadiri Kongres Pemuda Seluruh Indonesia I, yang akan dibuka tanggal 10 November. Menteri Luar Negeri Mr. Ahmad Subarjo menjawab telepon dari Surabaya dan mengatakan:[11]
“Saya tidak dapat menilai keadaan di Surabaya. Kalau Saudara berpendapat dapat mempertahankan kota itu, pertahankanlah!”
Mr. Ahmad Subarjo segera mengirim surat resmi kepada Panglima Tertinggi Tentara Inggris sebagai berikut[12] :
November 9th 1945.B/80.
Lieutenant General Sir Philip Christison
C.I.C. of the Allied Forces in Indonesia
7 Gambir
Jakarta.
Dear Sir.
Unconfirmed rumours are circulating that the Allied Forces intend to disarm the Indonesians in Sourabaya by force, and have issued and ultimatum due to expire on November 9th 1945 at 6.00 hrs. pm. This would be the execution of your warning issued a few days ago.
May I remind you on the fact that the agreement between Major General Hawthorn and Dr. Soekarno has brought a situation in which measures can be taken by the government of the Republic of Indonesia to pacify the city of Sourabaya and environs. This of course requires time and much tact with regard to the delicate situation still exciting at present. You may be assured of out determination cope with situation with appropiate means. It is not in interest of the government that the irresponsible part of the population is in position of arms which in the long run may endanger the state itself. However, any measure tending to immediately disarm that part of the population referred to above will evitable lead to clashers, bloodshed, and still greater disorder. We are not political adviser. Mr. Denning, himself has pointed out in a statement issued some time ago, to effect that forces, and so on.
The Indonesians have repeatedly made known that is the determined will to oppose by all means the presence of Dutch troops on their homesoil. As besides the task of disarming and evacuating the Japanese, the task of preserving peace and order is also yours. I beg you to use the methods which at least is provoking and most appropiate to be in control of the situation.
Mr. A. Soebardjo
Respectfully yours.
Minister of Foreign Affairs.
Namun upaya Mr. Ahmad Subarjo juga sia-sia. Nampaknya segala upaya pihak Indonesia untuk memperlunak ancaman Inggris tidak berhasil, karena tekad tentara Inggris untuk melaksanakan “hukuman” terhadap rakyat Indonesia di Surabaya tidak dapat dibendung lagi.
Di Surabaya tanggal 9 November 1945 sore hari, pimpinan militer Indonesia dengan dipelopori oleh Sungkono, yang telah diangkat menjadi Komandan TKR Surabaya, mengadakan pertemuan dan di hadapam makam Dr. Sutomo,[13] mereka menyatakan kebulatan tekad sebagai berikut:
SUMPAH KEBULATAN TEKAD
Tetap Merdeka!!!
Kedaulatan negara dan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad “Merdeka atau Mati.”
Sekali Merdeka tetap Merdeka!
Surabaya, 9 November 1945, jam 18.46
Ditandatangani oleh:
1. TKR Kota 7. Polisi Istimewa
2. PRI 8. TKR Pelajar
3. BPRI 9. PAU
4. TKR Sidoarjo 10. BBM
5. TKR Laut 11. TKR Mojokerto
6. BRI 12. TKR-TKR lain yang punya pasukan.
Pukul 21.00 malam Gubernur Suryo mengumumkan di radio sebagai berikut :
“Saudara-saudara di seluruh Jawa Timur!
Merdeka!
Kami Gubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat sebaran yang merupakan perintah yang ditanda tangani oleh Mayor Jenderal R.C. Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Darat Serikat di Jawa Timur yang meminta supaya kita sebelum jam 6.00 sore tadi menyerahkan senjata zonder perjanjian dan apabila perintah itu tidak dijalankan sampai jam 6 besok, tanggal 10 Nopember mereka akan bertindak dengan kekuatan angkatan laut, darat dan udara. Karena kita tak merasa berperang dan juga tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.
Polisi dan TKR kita pun tidak akan mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bersikap menjaga ketentraman umum. Maka dari itu diharapkan dari seluruh rakyat di Jawa Timur, terutama penduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal tenang dan jangan sekali-kali mulai bertindak provokasi, sambil menunggu keterangan radio yang lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan pucuk pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.“
Setelah usaha Pemerintah Indonesia di Jakarta yang meminta Panglima AFNEI, Letnan Jenderal Christison agar Inggris memperlunak atau bahkan membatalkan ultimatum tersebut tidak berhasil. Pemerintah Pusat di Jakarta akhirnya menyerahkan keputusan kepada pimpinan di Surabaya. Ternyata seluruh pimpinan, baik militer maupun sipil secara bulat dan tegas menolak untuk menyerah, maka pada tanggal 9 November malam pukul 23.00, Gubernur Suryo menyampaikan pidato radio:
“Saudara-saudara sekalian,
Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini; tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.
Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir dan batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.
Selamat berjuang.”
Keputusan ini disampaikan melalui telegram kepada Presiden Sukarno. Bung Karno menerima Telegram Gubernur Suryo di Yogyakarta, saat menghadiri pembukaan Kongres Pemuda Seluruh Indonesia ke I. Hadir waktu itu juga Urip Sumoharjo, yang baru diangkat menjadi Kepala Staf Umum Angkatan Perang RI. Setelah membaca telegram Bung Karno berdiam sebentar, kemudian mengucapkan:[14]
”Hormat pada Gubernur Suryo dan rakyat Surabaya.”
Hal ini dituturkan oleh Kolonel dr. W. Hutagalung, yang ada bersama Presiden Sukarno di Yogyakarta, ketika Sukarno menerima telegram tersebut dari Surabaya. Pada hari itu juga, tanggal 10 November 1945, seluruh peserta Kongres Pemuda yang berasal dari Surabaya –juga dr. W. Hutagalung- mohon diri dan kembali ke Surabaya. Sebagian naik kereta api; dr. W. Hutagalung memperoleh pinjaman mobil, dan bersama ajudan serta dua orang lain segera berangkat ke Surabaya. Karena kondisi mobil dan jalanan, mereka baru tiba di Surabaya hari Minggu, tanggal 11 November pagi hari, dan memasuki kota yang sedang digempur habis-habisan oleh tentara Inggris. Situasinya sangat menguatirkan, karena bukan saja bisa terkena bom dari pesawat terbang Inggris, namun pasukan Indonesia juga tidak bisa mengetahui, siapa yang berada di dalam mobil. Beruntung mereka dapat selamat menjumpai keluarga mereka yang bersembunyi di dalam ruangan bawah tanah.[15]
Demikianlah peristiwa yang mengawali pemboman Inggris atas Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 10 November 1945. Setelah itu, Inggris dengan kekuatan lebih dari satu divisi, dibantu beberapa kapal perang serta pesawat pembom dan pesawat tempur, melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Surabaya. Tentara Inggris memerlukan lebih dari tiga minggu untuk dapat menguasai kota Surabaya, dengan pengorbanan yang sangat besar di kedua belah pihak.
Surabaya November 1945
Rakyat Surabaya tetap berdisiplin dan tidak mulai menembak; mereka hanya bersiap sedia menunggu batas waktu ultimatum. Ternyata Inggris menepati ultimatumnya dan memulai penembakan pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam hari[16]. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan dan gedung-gedung pemerintah. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern.
Kampung-kampung Indonesia, Cina dan Arab di bagian-bagian utara praktis hancur semua, yang paling hebat di Kramat Gantung. Residen dan Walikota memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak mulai tanggal 11 Nopember 1945.
Pasukan infanteri beserta tank musuh menuju ke kompleks kantor PTT Surabaya. Beberapa kolone bergerak dari utara ke selatan, dilindungi oleh tembakan-tembakan mortir dan tank, sambil mengebom dari darat, laut dan udara terus menerus ke bagian-bagian lainnya.
Infanteri musuh telah maju ke Kampung Semampir di utara pada pukul 06.00 pagi dan mendudukinya. Kolone lain menyerang Kebalen dan mendudukinya pula. Perlawanan di tempat-tempat itu berupa tembakan-tembakan yang tidak teratur, karena memang musuh yang mendahului kita.
Akibat agresi militer Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945, pihak Indonesia memperkirakan lebih dari 20.000 orang tewas. Namun ada yang mengatakan, bahwa korban tewas “hanya” 12.000 jiwa. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka. Orang tua, wanita dan anak-anak. Pelaku sejarah yang menjadi saksi mata menilai pemboman tersebut adalah suatu kebiadaban.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:[17]
Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Setelah mengantar keluarga ke Mojokerto, Kolonel dr. Hutagalung kembali ke Surabaya, dan bertugas di pos pertolongan pertama di Sepanjang, bersama antara lain Letnan Kolonel dr. Irsan Rajamin Nasution dan Mayor dr. Syarif Thayeb (kemudian menjadi Menteri P & K). dr. Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat dilupakannya:[18]
… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua kakinya melintang di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke tempat tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru:
“Merdeka! Hidup Indonesia!”,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia menggendong anak itu ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah tewas ketika sampai di Sepanjang. Kami menanyakan:
“Di mana ayah anak ini?”
Ibu muda itu menjawab: “Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.”
Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas, kemudian menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka.” Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.
Demikian catatan Dr. Ruslan Abdulgani.
Jelas, bahwa pengamat internasional tidak dapat melihat semua korban tewas, apalagi di daerah perkampungan, di mana korban tewas langsung dimakamkan pada hari itu juga, sesuai dengan agama Islam; selain itu tidak ada pencatatan resmi ataupun tempat untuk melaporkan kejadian tersebut. Mau melapor atau mencatatkan ke mana?
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, dr. W. Hutagalung juga memperkirakan, korban tewas dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara Inggris.
Melihat keganasan tentara Inggris dalam “menghukum kejahatan atas peradaban” (crimes against civilisation), sadar atau tidak, mereka telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Walau pun dituliskan dalam ultimatum, bahwa wanita dan anak-anak diizinkan untuk meninggalkan kota sebelum pukul 19.00, berapa banyak penduduk -tingkat butahuruf waktu itu diperkirakan lebih dari 90%- yang berkesempatan membaca ultimatum tersebut. Waktu yang diberikan juga sangat pendek. Selain itu, tidak ada yang percaya, bahwa Inggris akan bertindak sekeji itu. Dan hal tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi militer Inggris untuk wilayah bekas Hindia Belanda.
Selain korban tewas dan luka-luka, sebagian terbesar adalah penduduk sipil seperti telah disebut di atas, kecuali Surabaya bagian utara, yaitu daerah pelabuhan dan Morokrembangan –bandar udara waktu itu, yang diduduki tentara Inggris- boleh dikatakan hampir seluruh kota Surabaya hancur; hampir tidak ada jembatan yang utuh. Apabila jembatan tidak hancur oleh bom Inggris, maka jembatan tersebut diledakkan oleh pasukan Indonesia, untuk menghambat laju penyerangan infanteri dan tank-tank Inggris. Juga masjid dan gereja tidak luput dari sasaran keganasan tentara Inggris.
Penderitaan rakyat Surabaya, yang dengan penuh ketakutan segera lari keluar kota, tidak dapat dibayangkan. Kebanyakan mereka menyelamatkan diri hanya dengan pakaian yang lekat ditubuh, tanpa sempat memikirkan untuk membawa harta benda atau barang-barang berharga.[19] Diperkirakan waktu itu lebih dari 100.000 rakyat Surabaya yang mengungsi ke luar kota (displaced persons).
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris sampai tanggal 22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:[20]
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Pihak Indonesia menduga, angka ini sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit).[21]
Di kalangan prajurit dari Divisi Inggris-India, terutama yang berkebangsaan India (masih belum berpisah: India, Pakistan, Bangladesh dan Nepal) timbul pertanyaan, yaitu:
“Why we are here?” (Mengapa kita di sini?)
Setelah pertempuran selama sekitar satu bulan, hingga awal Desember 1945, bilansnya adalah:
- korban di pihak Inggris, ratusan perwira dan prajurit tewas, luka-luka atau hilang,
- di pihak Indonesia, diperkirakan lebih dari 20.000 tewas –sebagian besar penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak, sekitar 150.000 pengungsi, serta kota yang hampir hancur total.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah:
“Selain kepuasan membalas dendam, apa keuntungan yang diperoleh Inggris?”
Kenyataan bagi Inggris waktu itu hanyalah, bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah sekadar kultus intelektual yang dangkal, melainkan masalah seluruh rakyat yang penting yang a lot, sebagaimana ditulis oleh Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya:[22]
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.”
Meelhuijsen mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:[23]
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support. No longer could any serious observer defend such a view.”
Berbagai Reaksi Atas Agresi Militer Inggris[24]
Berita mengenai agresi militer tentara Inggris secara besar-besaran itu segera tersebar ke seluruh dunia. Berbagai reaksi keras, tidak saja dari pihak Indonesia, melainkan juga dari dunia internasional, disampaikan kepada Inggris. Hari itu juga, tanggal 10 November 1945, Ahmad Subarjo, Menteri Luar Negeri RI, menemui Letjen Christison dan menyampaikan protes Pemrintah Republik Indonesia atas agresi militer tentara Sekutu di Surabaya.[25] Ahmad Subarjo juga menyarankan kepada Presiden Sukarno untuk menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, dan Perdana Menteri Inggris, Clement Atlee, yang kebetulan sedang berada di Washington. Surat Presiden Sukarno isinya antara lain:
“Berhubung dengan konferensi tuan berdua di Washington, saya memprotes serangan besar-besaran yang dilakukan Inggris atas bangsa Indonesia di Surabaya. Atas nama kemanusiaan dan peri keadilan, harap tuan suruh hentikan serangan itu, terutama untuk mencegah pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak.”
Pada tanggal 11 November 1945, dari Surabaya dikirim kawat yang ditujukan kepada Duta Besar Rusia dan Chungking di Jakarta, yang isinya sbb. :
Inggris dengan kekerasan mencoba menduduki Surabaya.
Pada tanggal 10 November 1945, beberapa kapal terbang Inggris melakukan pemboman dan tembakan mitralyur atas penduduk. Tembakan-tembakan mortir dari kapal perang dilakukan malam hari tanggal 10 November ‘ 45. Mulai jam 20.00 sampai pagi tanggal 11 November 1945. Surabaya tidak mempunyai meriam penangkis udara dan perlindungan-perlindungan. Memprotes keras perbuatan Inggris yang membabi-buta dan yang tidak mengenal perikemanusiaan.
Rakyat Indonesia di Surabaya
D/a KNI PTT Surabaya
Kongres Partai Sosialis Indonesia Indonesia pada tanggal 12 November 1945 mengirimkan harapan kepada Pemerintah Pusat, sebagai berikut :
Presiden Republik Indonesia Jakarta.
Kongres Partai Sosialis Indonesia mengharapkan keras pemerintah Indonesia memprotes kepada United Nations terhadap tindakan-tindakan Inggris di Indonesia. Mengharapkan pemerintah mendesak luar negeri penarikan kembali tentara Inggris, setidak-tidaknya mengirimkan tentara Soviet Rusia, Amerika dan Chungking untuk menyaksikan keadaan di sini.
Kongres Partai Sosialis Indonesia
Kaum Muslimin, kaum Kristen, Serikat Buruh Kereta Api dan sebagainya, bermunculan mengirimkan protes.
Presiden Sukarno sendiri pada tanggal 11 November 1945 menyatakan protesnya sebagai berikut :
“Surabaya telah ditembaki dan dibom secara kejam oleh tentara Inggris. Laporan resmi yang memastikan jumlah korban belum diterima. Nyata ribuan mati dan luka-luka termasuk perempuan dan anak-anak.
Ratusan orang Tionghoa dan Arab yang tidak bersalah dan suka pada damai yang datang di negeri ini untuk berdagang, mati terbunuh dan luka-luka berat, Korban di fihak Indonesia lebih besar lagi.
Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan.
Saya mintakan dengan ini perhatian seluruh dunia terhadap pembunuhan secara besar-besaran atas perempuan, anak-anak dan laki-laki. Tentara Inggris di Surabaya berpendapat, ia mempunyai alasan yang kuat untuk memusnakan penduduk Surabaya. Saya sangsikan kekuatan dari alasan itu, tetapi sekalipun dunia mengakui bahwa tentara Inggris ada mempunyai sesuatu alasan dan sekalipun di dalam hal ini saya tidak menyukai tindakan-tindakan kaum ekstremis di Surabaya, maka berpendapat, bahwa pembalasan atau itu adalah sangat berlebihan dan dunia mestilah menghakimi, apakah aksi yang telah dilakukan oleh Inggris seimbang dengan alasan-alasan itu.
Kaum ekstremis yang sebagian besar tidak tersusun hanyalah dapat dipatuhkan dengan perlahan-lahan, jika TKR Surabaya sudah disusun baik, tetapi ini akan minta beberapa waktu.
Saya mengetahui, bahwa insiden di Surabaya akan sangat melukai perasaan bangsa Indonesia secara umum dan sudah terang, bahwa perasaan anti Inggris akan bangkit.
Saya sesalkan adanya perasaan anti-Inggris semacam itu, akan tetapi saya berniat membatasi insiden di Surabaya itu.”
Ucapan Presiden Sukarno mengenai ekstremis menimbulkan reaksi yang tajam seperti ditulis, antara lain oleh surat kabar ibukota Merdeka tanggal 12 November 1945, sebagai berikut :
Keterangan Bung Karno
Suatu hal yang harus disesuaikan ialah keterangan Bung Karno tentang peristiwa Surabaya. Ia menghukum pula tindakan “ekstremis” perkataan yang suka benar dipakai Belanda dan Inggris untuk memecah-belah kita, akan tetapi ia lupa, bahwa hidup robohnya Republik Indonesia bukan karena sikap “percaya sepenuh-penuhnya” kepada Sekutu yang licik, melainkan percaya pada tenaga dan kehendak merdeka dari rakyat Indonesia sendiri.
Di dalam sejarah perjuangan diplomasi tuan, sudah banyak kali memperlihatkan kartu kepada musuh.
Dan tentang pembunuhan besar di Surabaya, jangan pula disertai nyanyian yang dinyanyikan Christison dan van Mook!
Ini tak dapat disetujui oleh rakyat yang tuan pimpin.
Menteri Luar Negeri Subarjo mengirim kawat protes dengan alamat Molotov di Moskow yang isinya sebagai berikut :
“Pada tanggal 17 Agustus tahun ini, telah diumumkan kemerdekaan Indonesia, berasaskan Undang-undang Dasar yang mempunyai asas-asas Demokrasi dan Sosialisme.
Indonesia berkehendak menghalangi kembalinya eksploitasi dan penindasan koloni serta imperialis.
Kemajuan negeri dihentikan, oleh karena Belanda mencoba membangunkan kembali pemerintah jajahannya. Meskipun beberapa kali diumumkan dan diulangi, bahwa bangsa Indonesia bersedia menentang pendaratan pasukan-pasukan Belanda dengan segala macam usaha, dan bertentangan dengan putusan Inggris bahwa pasukan-pasukan Belanda dengan menggunakan kedok Serikat masuk untuk menindas kemerdekaan Indonesia.
Indonesia serta memberi bantuan kepada tentara Serikat dalam kewajibannya memperlucuti senjata dan memindahkan Jepang, sebagai diputuskan dalam perjanjian Potsdam. Akan tetapi, asas kemerdekaan tidak menghendaki adanya pasukan asing berada di tanah Indonesia. Adanya pasukan-pasukan Inggris dibolehkan buat sementara waktu. Sekarang rupanya Inggris sedang membuka jalan untuk mengembalikan pemerintahan Belanda di Indonesia. Perdamaian dan keamanan terganggu. Serdadu-serdadu Jepang di bawah pimpinan Serikat ikut menindas kemerdekaan Indonesia. Serdadu-serdadu Belanda mengacaukan rakyat, menembaki penduduk preman yang tak bersalah. Jumlah orang yang mati makin bertambah.
Tak diusahakan apa-apa, untuk menghentikan kebuasan-kebuasaan itu. Tanda-tanda menunjukkan bahwa orang mulai menganggap Inggris sama dengan Belanda. Pangkalan laut Surabaya sekarang ditembaki oleh pasukan-pasukan Serikat. Pada 10 Nopember Inggris melakukan serangan secara besar-besaran. Banyak korban timbul di kalangan Indonesia dan Tionghoa. Bangsa Indonesia di Surabaya menyampaikan seruan kepada Rusia. Protes keras dimajukan atas penggunaan cara-cara yang tak mengenal perikemanusiaan itu. Indonesia menuntut keadilan dari dunia”.
Selain itu, Ahmad Subarjo menganggap perlu menyiarkan peristiwa Surabaya ke luar negeri agar tindakan Inggris yang melanggar segala norma peri kemanusiaan dan bertentangan dengan janji Letnan Jenderal Christison sendiri, untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, agar seluruh dunia mendapatkan gambaran jelas akan perbuatan Inggris itu. Pidatonya berbunyi sebagai berikut:[26]
“Di salah sebuah kota terbesar di Jawa ketika perdamaian telah kembali, yakni sesudah berlaku penyembelihan secara besar-besaran di seluruh dunia, maka dengan senjata-senjata peperangan modern dari salah sebuah negeri yang terkuat di dunia, dilakukan pembunuhan dan perusakan secara besar-besaran terhadap penduduk dan harta bendanya. Dalam waktu damai ini, ketika semua orang bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah menghentikan pemusnahan hebat terhadap umat manusia dan peradaban, maka di kota tersebut gedung-gedung diletuskan dan dihancurkan. Laki-laki, perempuan dan kanak-kanak koyak-koyak karenanya dan kampung-kampung menjadi lautan api. Dan hilanglah dalamnya pekik-tangis perempuan-perempuan dan kanak-kanak serta sumpah laki-laki, yang berjalan menempuh api.
Sementara itu di rumah-rumah sakit dan jalan-jalan di Surabaya bertimbun-tumbun mayat dan orang-orang yang luka-luka. Adapun Surabaya, pelabuhan besar di Jawa Timur, sekarang menarik perhatian seluruh dunia oleh karena dalam kota yang damai ini, pimpinan Inggris mempertunjukkan kepada orang Indonesia, bagaimana besar hebatnya kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh senjata-senjata peperangan modern. Dan sekarang seluruh Asia Timur, India dan dunia Islam semakin memuncak perhatiannya terhadap perjalanan keadaan di Surabaya. Apakah perusakan ini akan dibiarkan saja berlaku terus, atau haruskah ia dihentikan ? Apakah tak mungkin memecahkan soal ini dengan jalan damai ? Tentu saja dapat, yakni apabila sebab-sebab yang sebenarnya dari pertikaian ini diperhatikan dan diselidiki sungguh-sungguh ikhlas mengejar kemerdekaan dan keadilan.
Kejadian di Surabaya bukanlah suatu soal terpisah. Salahlah kita, apabila menganggapnya terpisah dari kejadian-kejadian di kota-kota di Pulau Jawa dan bagian-bagian Indonesia lainnya, dan dari sebab-sebab lainnya di zaman pemerasan penjajahan Belanda dan militer Jepang. Sikap kejam demikian tak akan dapat memecahkan soal kejadian di Surabaya, pun tidak soal Indonesia umumnya, oleh karena sebab-sebab yang sebenarnya tidak diindahkan. Dengan demikian maka mungkin benar timbul salah mengerti, yang pasti akan menimbulkan lebih banyak balabencana dan kesengsaraan.
Telah berulang-ulang orang Indonesia memberitahukan, bahwa mereka tak sanggup dan tak sudi menerima pendirian pemerintahan penjajahan Belanda dalam bentuk apapun juga, oleh karena pemerintahan Belanda akan menghalang-halangi kemajuan. Mereka tak percaya lagi akan ujud politik Belanda. Akan tetapi di samping itu mereka juga telah menerangkan, bahwa orang Belanda akan mendapat kedudukan sewajarnya dalam negara Indonesia Merdeka, yang akan menyumbangkan sepenuh kekayaan benda dan tenaga manusianya buat pembangunan dunia. Apabila Indonesia membutuhkan nasihat-nasihat, maka akan diminta penasihat-penasihat yang terpandai di dunia, akan tetapi berkenaan dengan sebab-sebab yang cukup alasannya, tak dapatlah ia menerima kedudukan dalam kungkungan kerajaan Belanda, sekiranya ia hendak mencapai kemajuan dan kemakmuran.
Sebagai negara merdeka ia tak dapat menerima negara asing memerintah di Indonesia, akan tetapi oleh karena kewajiban pasukan-pasukan Serikat, seperti berkali-kali diulangi oleh pimpinan Inggris, hanyalah melucuti senjata orang Jepang dan memberikannya tempat tertentu, menolong dan melindungi tawanan-tawanan perang dan orang-orang yang dulu diasingkan dan menjaga ketentraman dan keamanan yang dibutuhkan berkenaan dengan yang disebut tadi, maka orang Indonesia tidak saja suka menyambut kedatangan mereka, akan tetapi juga suka membantu mereka. Pada hakekatnya mereka tak mempunyai perasaan benci terhadap orang Inggris, malahan boleh dikatakan mempunyai sympati terhadap mereka, oleh karena telah berjasa melepaskan dunia dari kekejaman perang. Akan tetapi walaupun demikian, perasaan begini tak terlihat pada wajahnya atau dipertunjukkan dengan kata-kata atau tindakan-tindakan. Akan tetapi ketika pasukan-pasukan Belanda muncul di jalan-jalan Jakarta, maka hilanglah ketentraman dan kenyamanan, yang sebelumnya terdapat di mana- mana di Indonesia di bawah pemerintahan orang Indonesia sendiri.
Di mana-mana saja pasukan-pasukan Serikat muncul. Orang khawatir mereka akan diikuti Belanda, yang menimbulkan kekacauan, mengadakan provokasi dan melakukan kekejaman. Dari bukti yang dapat dilihat oleh mata sendiri, nyata bahwa mereka mempergunakan uniform Inggris dan Amerika mengemudikan mobil dan berbicara Inggris, supaya dianggap orang Amerika atau Inggris. Ketika pertempuran di Surabaya, dikabarkan bahwa orang Belanda dan orang-orang Indo telah mencat hitam, muka dan tangannya supaya dianggap orang Gurkha. Maka hilanglah perdamaian dalam penghidupan orang Indonesia. Rakyat Surabaya yang telah mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman orang-orang Indonesia di kota-kota lain yang diduduki pasukan-pasukan Sekutu, khawatir, kalau-kalau kejadian-kejadian tersebut akan berulang pula di kota mereka sendiri. Inilah yang menimbulkan perasaan tak aman bagi mereka yang menyebabkan mereka tak suka melepaskan senjata dari tangannya yang menjadi satu-satunya alat untuk mempertahankan diri terhadap serangan Belanda. Sayang benar sebab kecil ini rupanya tak dapat dimengerti oleh fihak Inggris, sehingga telah sampai menimbulkan balabencana tersebut.
Sikap yang terbaik terhadap masalah Surabaya ialah memisahkan tentara Belanda dari pasukan-pasukan penduduk Serikat, supaya orang Indonesia terhindar dari kemungkinan, bahwa orang Belanda, mempergunakan salah sebuah uniform atau menyamar, dan mempergunakan kesempatan berhubung dengan pendudukan oleh Sekutu, sebagai perisai tempat mereka bersembunyi, untuk melakukan kegiatan guna mendirikan kembali kekuasaannya secara leluasa. Dengan demikian sambil menunggu keputusan permusyawaratan perdamaian yang akan menentukan nasib Indonesia, janganlah ada pasukan Belanda tergabung pada pasukan-pasukan penduduk Serikat. Dengan jalan begini tidak saja akan memberikan jaminan pertolongan dan bantuan dari pihak Indonesia bagi Inggris, sehingga memudahkan benar dan mempercepat kerja pasukan pendudukan, yang telah jemu berperang dan ingin pulang kembali ke negerinya. Dengan jalan begini, maka hubungan Inggris-Belanda atau hubungan Inggris-Indonesia tidak akan jadi rusak, dan penumpahan darah dan pertarungan akan dapat dihindarkan.
Tak ada gunanya sekarang memperbicangkan panjang lebar tentang siapa yang salah berhubung dengan kejadian di Surabaya, sebelum diayunkan langkah selanjutnya menuju usaha yang memberikan suatu hasil.
Kerja kita yang terutama sekarang ialah menghadapi keadaan yang nyata dan menghentikan selekas mungkin pembunuhan dan perusakan, yang pasti tidak disukai oleh kedua belah pihak. Untuk menjaga keamanan dan ketentraman, maka niat baik dan saling mengerti akan lebih bermanfaat dan berhasil daripada bersikap keras kepala.
Berkenaan dengan kata “ekstremis” yang berkali-kali dipergunakan untuk menamakan semua atau sebagian kaum nasionalis Indonesia, maka ketahuilah bahwa kaum pasifis dekorat atau revolusioner adalah bersatu dan satu tujuan, yakni kemerdekaan negeri yang dicintainya, dan pengakuan negerinya oleh dunia internasional sebagai anggota dewasa dalam keluarga bangsa-bangsa merdeka. Dada mereka penuh dengan satu keinginan, bahwa mereka dengan kebudayaan dan sumber-sumber bahannya yang kaya raya akan dapat membantu dalam pembangunan dunia baru, yang berdasarkan perdamaian, peri-kemanusiaan dan keadilan.
Sejarah mencatat, pimpinan tentara Inggris dan juga Pemerintah Inggris sendiri tidak bergeming mendengar segala protes, tuntutan dan kritik yang dilancarkan kepada mereka. Serangan terus dilancarkan oleh tentara Inggris. Sementara itu pertempuran di Surabaya berlangsung terus dengan dahsyatnya. Komunike dari Mojokerto tanggal 13 November 1945 berbunyi sebagai berikut :
Pertempuran terus berjalan dengan hebat, sebagaimana sesuai dengan semangat perjuangan bangsa yang rela berkorban untuk mempertahankan kemerdekaannya. Garis pertahanan kita membujur dari barat ke timur, mulai dari daerah Asemjajar ke selatan Pasar Turi, jalan kereta api yang tinggi hingga Kali Mas dan menurut sungai itu ke utara sampai ke Jembatan Ferwerda. Kemudian ke timur melalui Kali Pengirikan. Garis ini tidak berubah, malahan di daerah Asemjajar kita dapat memukul mundur tentara Sekutu.
Bombardemen dari laut membabibuta sampai Simpang Lonceng. Dari utara dilepaskan tembakan ke seluruh kota dengan bom peledak dan bom api. Tank-tank tidak dipergunakan lagi sejak beberapa tank dapat kita hancurkan dengan barisan penggempur, yaitu barisan berani mati kita, yang terdiri dari pemuda-pemuda perwira yang bersemboyan: Merdeka atau Mati. Kantor-kantor penting di sebelah selatan garis pertahanan kita umumnya mendapat kerusakan. Kantor Pos yang terletak di sebelah utara jalan kereta api selalu beralih dikuasai oleh kita dan musuh. Dan kemarin malam kantor itu telah kita bakar. Evakuasi berjalan terus dengan teratur dan pemberian makanan kepada rakyat kita yang dengan gagah perwira menghadapi segala bencana yang ditimbulkan Inggris dan Belanda itu, berjalan dengan teratur. Makanan dari luar kota mengalir terus.
Tadi malam pasukan-pasukan meriam kita melakukan serangan besar-besaran.
Badan Pekerja KNI-P pun tak ketinggalan, dan mengeluarkan pernyataan :
1. Pemerintah Republik Indonesia baik dengan resmi maupun dengan cara lain telah berkali-kali menyatakan kesanggupannya untuk menyelesaikan segala hal yang berkenaan dengan pendudukan Balatentara Sekutu dengan jalan damai.
2. Lain daripada itu pemerintah telah pula memerintahkan kepada segenap pegawainya untuk membantu tentara Sekutu.
3. Kesanggupan akan jalan damai ini telah pula dibuktikan dengan nyata dalam peristiwa Surabaya (28-29 Oktober 1945) yang telah dapat dihentikan dengan damai oleh Presiden kita.
4. Berhubung dengan kematian Brigadier Mallaby, yang juga sangat kita sesalkan, pemerintah kita telah mengusulkan kepada tentara Inggris supaya hal ini diselesaikan dengan jalan damai.
5. Fihak Inggris tak mengindahkan usul tersebut dan mengumumkan ancaman-ancaman yang disusul oleh ultimatum kepada kota Surabaya.
6. Syarat-syarat ultimatum tersebut sungguh berat dan tidakmungkin dipenuhi oleh bangsa yang menghormati dirinya.
7. Sebagai lanjutan ultimatum itu, tentara Inggris telah memilih jalan kekerasan, berupa pemboman dari laut, udara dan tembakan-tembakan meriam besar, seakan-akan penduduk Surabaya berada dalam perang dengan Inggris.
8. Bahwa perbuatan tentara Inggris itu melukai perasaan peri-kemanusiaan yang dibuktikan oleh banyaknya korban antara penduduk yang tak bersalah dengan tidak mengindahkan perempuan atau anak-anak.
Berdasarkan hal-hal di atas maka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dengan ini mencela keras perbuatan tentara Inggris itu yang melukai perasaan perikemanusiaan dan bertentangan dengan sari Charter San Francisco.
9. Pemerintah menganjurkan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya mengirim segala macam bantuan ke Surabaya, misalnya angkatan Palang Merah, makanan, obat-obatan, dan sebagainya, Dengan jalan demikian dapatlah kita menunjukkan solidaritas kita dengan saudara-saudara kita di Surabaya.
10. Tetap kita mesti menjaga supaya perjuangan kita berdasarkan kekuatan bangsa Indonesia sendiri. Hendaklah negara-negara kita yang merdeka berjuang dengan tidak memakai pertolongan dari orang Jepang, sekalipun kita ditawarkan pertolongan itu.
11. Seluruh rakyat Indonesia ! Marilah kita menunjukkan solidariteit kita yang nyata kepada rakyat Surabaya.
Jakarta, tanggal 13 November 1945.
Reaksi di Inggris sendiri dapat dilihat dari pembahasan di House of Commons (Parlemen) tanggal 20 Februari 1946, antara lain argumen yang diberikan oleh Tom Driberg, anggota Parlemen dari Partai Buruh, yang mempersoalkan masalah tewasnya Brigadier Mallaby, yang dijadikan alasan oleh tentara Inggris untuk melancarkan agresi militernya.
Veto Prancis Menggagalkan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Selain protes keras dari berbagai penjuru dunia, termasuk perdebatan di Parlemen Inggris, kecaman keras datang dari wakil Republik Ukraina untuk PBB, Manulsky[27]. Pada tanggal 21 Januari 1946, Manulsky membawa masalah agresi militer Inggris atas Surabaya ke Dewan Keamanan PBB. Manuelsky menilai, tindakan Inggris sebagai ancaman terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yang diatur dalam pasal 34 Piagam PBB. Berdasarkan pasal ini, Ukraina minta dibentuknya komisi penyelidikan (Fact-finding Commission) ke Indonesia, terdiri dari anggota DK PBB. Perdebatan berlangsung selama satu minggu, di mana hadir wakil dari Belanda, sedangkan Inggris sendiri absen karena belum dapat mengirim wakilnya.
Salah satu pendukung Inggris dan Belanda adalah Prancis, yang dengan hak vetonya dapat menggagalkan resolusi, sehingga tak tercapai kesepakatan. Tampak di sini kerjasama sesama negara-negara penjajah. Prancis waktu itu masih mempunyai banyak jajahan, baik di Afrika Amerika Selatan maupun di Asia. Melihat kenyataan ini, patut dipertanyakan, apakah Hak Asasi Manusia, demokrasi dan kemerdekaan seperti yang ditulis oleh filosof Inggris dan Prancis, seperti David Hume dan Voltaire memang mempunyai nilai universal, atau sebenarnya berbau rasialis. Ternyata Amerika Serikat dan Inggris tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang telah mereka cetuskan tanggal 14 Agustus 1941, mengenai Rights for selfdetermination of peoples –hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Bahkan setelah dikukuhkannya Declaration of Human Rights di PBB pada bulan Oktober 1948, ternyata negara-negara tersebut tidak segera memerdekakan jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Menanggapi uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris serta dukungan Manuelsky di Dewan Keamanan PBB, BP KNIP pada 22 Februari 1946 mengeluarkan pernyataan:
Menimbang, bahwa keterangan yang diberikan oleh Tom Driberg itu membenarkan sekali lagi dengan senyata-nyatanya keyakinan rakyat Indonesia, bahwa Brigadir Mallaby tidak mati terbunuh oleh rakyat Indonesia, apalagi dengan cara yang tidak mengenal peri-kemanusiaan sebagai yang digambarkan oleh Inggris kepada dunia.
Menimbang pula, bahwa:
1. Pihak Inggris memulai pertempuran di kota Surabaya terhadap penduduk dengan menggunakan matinya Brigadir Mallaby itu sebagai satu-satunya alasan.
2. Sebagai kesudahan pertempuran itu, maka ribuan penduduk Indonesia, Tionghoa dan Arab, baik dewasa maupun anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, telah mati dan luka-luka, dan tambahan lagi puluhan ribu orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan sekarang hidup dalam sengsara sebagai pelarian dan korban perang.
Memutuskan:
Meminta kepada pemerintah, supaya menyampaikan kepada Manulsky, pemimpin delegasi Sovyet-Ukraina, yang dalam sidang United Nations telah membela perkaranya bangsa Indonesia, juga yang berkenaan dengan petempuran di Surabaya, agar mengusulkan kepada United Nations, supaya:
1. Hendaklah diambil tindakan, agar perkara matinya Brigadir Mallaby diperiksa dengan teliti oleh sebuah komisi dari United Nations, agar teranglah siapa yang tanggung jawab atas matinya ribuan penduduk Surabaya yang tidak berdosa.
2. Hendaklah diambil tindakan, agar fihak tentara Inggris menghentikan penumpahan darah di daerah Surabaya dan meninggalkan kota dan daerah tersebut.
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
Ketua
Assaat.
Demikian komunike yang ditandatangani oleh Mr. Asaat Datuk Mudo, Ketua Badan Pekerja KNI-P.
[1] Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. jilid dua, hlm. 367 – 369.
[2] Beberapa sumber menyebutkan, jumlah pasukan Divisi 5 hanya sekitar 15.000 tentara.
[3] Meelhuijsen, ibid., hlm. 212.
[4] Ibid., hlm. 235.
[5] Nasution , ibid., hlm. 373-374
[6] Abdulgani, ibid., hlm. 72-75.
[7] Barlan Setiadijaya, ibid., hlm. 459.
[8] Copy asli dan terjemahan bahasa Indonesia, lihat lampiran VII, hlm. 241 dst.
[9] Lihat juga Reid, ibid., hlm. 87.
[10] Abdulgani, ibid., hlm. 95.
[11] Subarjo, ibid., hlm 403
[12] Setiadijaya, ibid., hlm. 467.
[13] Keterangan dari Mayor Jenderal TNI (Purn.) H. K.R.M.H. Jono Hatmodjo.
[14] Hutagalung, ibid., hlm. 26
[15] Hutagalung, loc.cit.
[16] Nasution, ibid., hlm. 379 – 380.
[17] Lihat Anderson, ibid., hlm. 193.
[18] Hutagalung, ibid., hlm. 29.
[19] Hutagalung, ibid., hlm. 26.
[20] Meelhuijsen, ibid., hlm. 262.
[21] Ibid., hlm. 197.
[22] van der Post, ibid. hlm. 225.
[23] Meelhuijsen, ibid., hlm. 264.
[24] Nasution, ibid., hlm. 384 – 389.
[25] Subarjo, ibid., hl. 408.
[26] Subarjo, ibid., hlm. 408 – 412.
[27] Setiadijaya, ibid.,hlm. 565.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home